Optika.id - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut jika upaya mencegah stunting dan gizi buruk bisa dilakukan dengan adanya revolusi pangan pada 2023. Terutama, membentuk kesadaran agar tidak bergantung pada bahan pangan tertentu saja.
Baca juga: Pengmas FK UNAIR: Perangi Stunting dengan Edukasi Gizi di Desa Londo, NTB
Adanya inisiasi dari BKKBN ini diharapkan agar kerja sama dengan mitra dapat mencapai tujuan dalam mewujudkan revolusi pola makan.
Kerja sama itu harus diperkuat di tahun 2023. Kalau menurut saya harus ada revolusi pola makan, kata Kepala BKKBN,Hasto Wardoyodalam keterangan yang dikutip oleh Optika.id, Selasa (3/1/2022).
Penguatan kerja sama ini, ujar Hasto, ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) masyarakat akan pemberian asupan gizi pada anak sehingga mencegah stunting.
Disinggung terkait dengan revolusi pola makan, Hasto memberikan contoh keberhasilan orang Jepang yang melibatkan semua mitra secara optimal serta mendorong semua warganya agar mengonsumsi ikan guna memenuhi asupan gizi DHA dan Omega 3. Sedangkan jika di Indonesia, hal tersebut dapat dilakukan melalui pangan lokal yang tumbuh di wilayah masing-masing.
Keterlibatan para mitra tersebut juga dapat mendorong para keluarga agar tidak melulu fokus pada sejumlah bahan pangan tertentu. Seperti hanya mengonsumsi beras sebagai sumber karbohidrat utama, atau daging-dagingan untuk menyediakan menu yang sehat bagi buah hati. Namun, semua itu bisa diganti dengan makanan lain dengan gizi serupa atau lebih tinggi misalnya jagung, daun kelor, atau singkong.
Hasto menyebut, dengan bertambah luasnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah pangan lokal, maka keluarga-keluarga di Indonesia tidak akan terkecoh atau khawatir pada komoditas pangan yang terimbas inflasi harga. Karena, keluarga ini sudah menyiapkan serta menyadari bahwa Indonesia kaya akan diversifikasi pangan.
Baca juga: Lagi-Lagi El Nino Disalahkan Biang Kerok Harga Pangan Mahal
Sekarang ini yang menjadi populer adalah harga cabai, tahu dan kol. Makanan di luar itu seolah olah tidak dilirik, sehingga kalau harga cabai, tomat naik kenapa tidak cari alternatif, misalnya kelor yang ditanam di mana-mana dan bisa tumbuh, jadi itu yang saya maksudkan revolusi,kata dia.
Revolusi pola makan, ujar Hasto, juga akan menghindari anak-anak terkena stunting dan membuat keluarga tidak gampang terdikte oleh kartel-kartel. Apalagi, Presiden Joko Widodo juga mendorong para masyarakat untuk tidak gampang banyak membeli bahan impor, termasuk pangan agar tidak kecanduan dan melemahkan pangan negeri sendiri.
Tak hanya revolusi pangan, Makanan Pendamping Asia tau MPASI bagi anak-anak juga harus direvolusikan. Sebab, saat ini menurut BKKBN, masih banyak ibu yang terpaku memberikan susu formula daripada ASI Ekslusif yang harus dipenuhi selama 2 tahun.
MPASI yang diberikan pada anak pun, lebih menggunakan makanan pabrikan dibandingkan membuatnya sendiri dengan alasan sulit, tidak tahan lama ataupun tidak memiliki cukup banyak waktu.Padahal, dengan menggunakan pangan lokal dapat sedikit mengurangi beban pengeluaran keluarga, juga memperkaya jenis makanan yang dikonsumsi keluarga.
Baca juga: Pengamat Ekonomi Sebut Pemerintah Gagal Mengelola Harga Pangan
Namanya MPASI itu sudah jelas, tapi ini justru aslinya diganti susu formula, beli bubur yang sudah ada tulisannyatujuhatausembilanbulan. Uangnya jadi lari semua ke pabrikan. Kenapa kita tidak memberdayakan produk lokal saja?,ucapnya.
BKKBN bersama Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dan Tim Pendamping Keluarga (TPK) saat ini terus menggaungkan manfaat pangan lokal, untuk diolah menjadi menu sehat. Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) juga membantu mendemonstrasikan menu-menu sehat tersebut.
Ini saja pemberian ASI eksklusif masih belum maksimal. Saya kira banyak hal yang harus kita buatkan resolusi melalui suatu revolusi, pungkas Hasto.
Editor : Pahlevi