Optika.id - Sistem pemilihan umum (Pemilu) apapun yang dipakai bukanlah masalah yang mendasar asal prosesnya dilakukan secara bekerlanjutan serta meningkatkan kualitas demokrasi. Hal tersebut dikatakan oleh Pemerhati Politik Internasional dan isu strategis lainnya, Imron Cotan. Menurutnya, saat ini Indonesia mengalami proses pematangan demokrasi.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
"Jadi, kalau ditanya, sistem apa yang terbaik? Tentu yang bisa mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa," ujarnya dalam webinar Moya Institute bertema "Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi", Jumat (20/1/2023).
Mantan Duta Besar (Dubes) RI untuk Australia dan China ini menyebut jika pemilu merupakan instrument dan menjadi bagian dari demokrasi yang pelaksanaannya menyesuaikan kebutuhan berdasarkan konteks waktu dan tepat sasaran. Dia menilai demokrasi tidak mempunyai bentuk baku yang bisa diterapkan sebagai model yang sama di setiap negara.
Belakangan ini, perdebatan tentang sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup kembali mengemuka setelah dicetuskan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dari sembilan fraksi di DPR, delapan di antaranya menolak sistem proporsional tertutup. PDIP berdalih jika sistem proporsional tertutup lebih mneghemat ongkos politik, murah, mencegah liberalisasi, dan menangkal potensi politik uang.
Di sisi lain, Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua Umum Partai Gelora turut mengajak agar masyarakat ikut mempertanyakan argumentasi sistem proporsional tertutup seperti klaim PDIP yang dianggap lebih menyerap aspirasi publik daripada sistem yang berlaku saat ini.
Dia menegaskan jika argumentasi semacam itu bisa menyesatkan.
"Kalau membiarkan parpol (partai politik) mendudukkan anggotanya dari daerah tertentu namun masyarakat merasa tidak memilih, maka kepercayaan konstituen akan pudar. Ingat, sistem pemilu adalah induknya demokrasi," paparnya.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Dalam momentum yang sama, Hermawan Sulistyo selaku peneliti senior BRIN menyebut jika prinsip dasar dari pemilu yakni memiliki kedaulatan terhadap dirinya sendiri. Maka dari itu, agar tidak terjadi konflik maka dibuatlah pengaturan sendiri. Adapun yang membuat pengaturan yakni orang yang berada di eksekutif maupun legislative.
Sedangkan, pihak lain juga turut andil dalam membuat pengaturan tersebut seperti parpol dan masyarakat umum agar bisa mengetahui pertanggung jawabannya sebab dipilih secara langsung.
Hermawan menegaskan jika taka da satu sistem pemilu pun yang membuat peluang seorang calon legislative (caleg) terpilih sebagai anggota DPR lebih besar. Dia menilai jika semuanya sama saja pasalnya sistem pemilu lah yang mengantarkannya ke kursi jabatan tersebut.
Baca juga: Netizen Respon Upaya Anies Dirikan Partai, Ini Penjelasannya!
Adapun pengamat hukum Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul, memaparkan, sistem pemilu terbagi dalam bentuk mekanis dan organik. Dalam mekanis, warga negara dipandang secara individual yang memiliki hak memilih, sedangkan rakyat tak dilihat sebagai perorangan melainkan berdasarkan kelompoknya dalam organik.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengungkapkan, sistem proporsional tertutup ataupun terbuka pernah dipraktikkan sejak awal reformasi sampai sekarang. Menurutnya, tidak ada satu pun sistem yang lebih sempurna dibandingkan yang lainnya.
"Apa pun nantinya yang dipilih, harus mampu meningkatkan kualitas demokrasi," ujar Hery.
Editor : Pahlevi