Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Baca juga: Keturunan India Menjadi Presiden Singapura
Optika.id - Masyarakat di Malaysia ingat ketika Dr. M atau Dr. Mahathir Muhammad menjadi pemimpin oposisi sebelum ia terpilih sebagai perdana menteri, Mahathir yang berusia 92 tahun waktu itu adalah seorang kritikus terkemuka terhadap proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai China di Malaysia selama pemerintahan Najib.
Mahathir tidak mau negerinya terjebak oleh utang dari China. Lalu pada tahun 2018 ketika sudah menjadi Perdana Menteri Malaysia setelah mengakhiri kunjungan lima harinya ke Beijing mengumumkan bahwa proyek-proyek yang dibiayai China di Malaysia senilai miliaran dolar akan dibatalkan.
Berbicara kepada wartawan Malaysia, Mahathir mengatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah "menerima" alasan Dr. M.
"Ini tentang menggelontorkan terlalu banyak uang, yang tidak mampu kami bayar, tidak dapat membayar, dan juga karena kami tidak membutuhkan proyek-proyek ini untuk Malaysia saat ini," kata Mahathir, menambahkan peringatan tentang kebangkrutan dan utang nasional Malaysia yang membengkak, yang saat itu berkisar sekitar $ 250 juta ( 217 juta), menurut Kementerian Keuangan Malaysia.
Proyek-proyek tersebut termasuk kereta api senilai $ 20 miliar, East Coast Rail Link (ECRL) sepanjang 688 kilometer (430 mil), yang akan menghubungkan pantai timur Malaysia dengan Thailand selatan dan ibukota Malaysia Kuala Lumpur.
Pembangunan dua pipa gas senilai $ 2,3 miliar juga sedang dihentikan. Proyek-proyek tersebut merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road Beijing yang membiayai dan membangun proyek-proyek infrastruktur di seluruh Asia. Proyek ECRL dinegosiasikan pada tahun 2016 oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan Presiden Xi.
Sementara itu baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pergi ke Beijing (sama dengan yang dilakukan Perdana Menteri Malaysia tahun 2018 itu) untuk merundingkan investasi China di Indonesia.
Pak Luhut mengungkapkan China Development Bank (CDB) telah meminta jaminan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memberikan pinjaman proyek kereta cepat cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Dengan skema ini, CBD akan menerima pembayaran pinjaman dari APBN jika Indonesia tidak mampu membayar pokok dan bunga pinjaman.
Pak Menko Luhut pergi t ke Beijing untuk bernegosiasi dengan CDB untuk menurunkan suku bunga pinjaman dari 4 persen menjadi 2 persen. Namun, tugasnya gagal karena pihak CDB menolak dan memutuskan untuk hanya menurunkannya menjadi 3,4 persen.
Baca juga: Kecurangan Pemilu Tidak Hanya di TPS
Menyusul keputusan tersebut, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa Indonesia kembali berusaha untuk terlibat dalam negosiasi dengan CDB untuk menurunkan suku bunga pinjaman.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan skema kesepakatan agar suku bunga pinjaman bisa turun menjadi 3 persen. Pemerintah tidak akan lagi membujuk bank China untuk memotong suku bunga pinjaman menjadi 2 persen karena sudah masuk akal mengingat tingkat treasury saat ini yang telah meningkat dari 2 menjadi 4 menjadi 5 persen.
Seperti diketahui pada bulan September 2015, Indonesia menyetujui proposal China untuk pembangunan proyek kereta api berkecepatan tinggi yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, dengan rencana investasi awal sebesar US $ 6,071 miliar.
Namun, ada kekhawatiran yang berkembang bahwa negara itu akan jatuh ke dalam perangkap utang dengan China, karena meningkatnya pembengkakan biaya, terutama ketika China baru-baru ini meminta jaminan pinjaman dari APBN.
Para pengamat ekonomi berpendapat bahwa sudah sepantasnya pemerintah menolak permintaan China. Karena proyek KCJB tidak boleh menggunakan bagian apapun dari APBN karena itu merupakan proyek business to business dengan utang yang dikaitkan dengan KCIC (Kereta Cepat Indonesia China).
Baca juga: Polusi Udara DKI Sebagai Pembenar Perlunya IKN
Oleh karena itu, KCIC wajib membayar dan bertanggung jawab atas segala utang yang terkait dengan proyek KCJB tersebut. Apalagi menggunakan APBN untuk membayar utang akan membebani anggaran fiskal selama beberapa dekade, dengan kelayakan proyek dipertanyakan sebagai tidak rasional.
Pada akhirnya, Indonesia mungkin tidak punya pilihan untuk menerima beban cost overrun suku bunga, yang jauh dari kesepakatan awal untuk proyek tersebut, hal ini berpotensi menempatkan pemerintah dalam posisi rentan, yang mengarah ke perangkap utang yang serupa dengan apa yang terjadi di Sri Lanka dan negara-negara lain. Sri Lanka misalnya, tidak mampu melunasi utang mereka yang melekat pada proyek pelabuhan, yang kemudian diambil alih oleh China.
Dalam kasus beberapa negara Afrika, pemerintah harus membayar kembali utang melalui akses ke minyak dan gas dan sumber daya mineral karena mereka gagal membayar utang ke China. Oleh karena itu, Indonesia mungkin berhati-hati dengan bantuan China dengan pembangunan dan bantuan teknis.
Tanpa berniat membanding-bandingke dengan Malaysia, namun yang jelas negeri jiran ini pernah dengan berani membatalkan investasi China di Malaysia karena khawatir akan membebani anggaran pemerintah yang pada akhirnya membebani rakyatnya.
Juga berani mengatakan kepada China bahwa proyek infrastruktur yang dibangun China itu tidak dibutuhkan rakyat. Sementara Indonesia tidak punya pilihan menerima permintaan China.
Editor : Pahlevi