Optika.id - Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi menyebut bahwa pengangguran usia muda yang terdapat di dalam negeri saat ini disebabkan oleh pendidikan di dalam negeri selama beberapa decade ini menghasilkan banyak lulusan di usia yang muda.
Baca juga: Satgas OJK Minta Masyarakat Waspada Modus Penipuan Loker
Banyaknya lulusan muda tersebut sayangnya tidak dibarengi dengan lapangan kerja yang tersedia. Dia menjelaskan bahwa pengangguran tertinggi saat ini berasal dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hal ini tentu ironis sebab pendidikan di SMK lebih ditekankan pada program vokasi yang digadang-gadang lebih siap untuk terjun ke dunia kerja.
Lulusan SMK tidak bisa diserap oleh lapangan kerja karena mereka memiliki kemampuan khusus. Namun, lapangan pekerjaannya sangat terbatas, ucap Tadjuddin kepada Optika.id, Rabu (10/5/2023).
Saat ini, Tadjuddin menilai angka tingkat pengangguran usia muda lepas sekolah bisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi real di lapangan lantaran hal tersebut seperti fenomena puncak gunung es.
Kadang-kadang angka pengangguran itu baik untuk indikasi, tapi kadang belum sesuai realitas sosial, katanya.
Untuk diketahui, angka pengangguran merupakan indikator yang menunjukkan bahwa ada banyak anak muda yang menganggur di dalam negeri. Akan tetapi, indikator tersebut belum tentu sesuai dengan fakta di lapangan lantaran indikator tersebut merupakan potret sesaat dari banyaknya realita yang terkubur di dalamnya. Meskipun demikian, hal itu harus menjadi perhatian lantaran digunakan sebagai indikator.
Ketika disinggung mengenai bonus demografi, Tadjuddin menuturkan bahwa individu dengan usia muda bakal menjadi beban bahkan menimbulkan malapetaka bagi negara apabila tidak segera dicarikan solusinya atau diciptakan peluang kerja bagi mereka.
Di sisi lain, pengangguran usia muda tersebut bisa membawa Indonesia melompat jauh meninggalkan beberapa negara tetangga apabila potensi mereka bisa dimanfaatkan dengan baik. Pun, peluang kerja tidak bisa diciptakan tanpa investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Intinya, tanpa investasi maka tidak ada peluang kerja yang didapat.
Investasi saat ini juga cenderung susah-susah gampang lantaran investasi yang masuk baik dari dalam maupun luar negeri terhalang birokrasi yang kerap tumpang-tindih. Tak jarang dalam praktiknya, pengurusan surat izin investasi membutuhkan waktu bertahun-tahun dan administrasinya yang cukup alot.
Tak hanya itu, para pemilik modal juga kerap dihadapkan oleh berbagai macam aturan yang mempersulit praktik investasi dalam negeri. Maka dari itu, investor kadang-kadang tidak mau berinvestasi di Indonesia. Sehingga, peluang kerja di Indonesia cukup sedikit dan berpengaruh pada tingkat pengangguran usia muda.
Baca juga: Abai Atasi Angka Pengangguran Usia Muda yang Kian Tinggi
Misalnya pada tahun 2019 silam, beberapa perusahaan dari China menanamkan modalnya serta melakukan relokasi ke negara-negara di Asia seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand namun tidak ada yang ke Indonesia.
Alasan dari keengganan mereka masuk dan menanamkan modalnya di Indonesia yakni terganjal izin yang sulit, kondisi politiknya yang tidak stabil, banyaknya demonstrasi dan ketidakpuasan, serta tenaga kerjanya yang memiliki kualitas rendah serta tidak kompeten apabila dibandingkan dengan negara lainnya.
Tadjuddin mengatakan bahwa upaya untuk mengatasi kondisi tersebut, Undang-Undang Ciptakerja pun dibuat oleh pemerintah. Tadjuddin mengklaim bahwa metode omnibus law dibuat agar investor lebih mudah menembus segala macam aturan yang selama ini sangat ketat dan sulit ditembus.
Harapannya ekosistem investasi di Indonesia akan mendorong orang lebih mudah dalam berinvestasi, jelasnya.
Beleid sapu jagat tersebut menurut Tadjuddin bisa membuat sistem tenaga kerja yang lebih fleksibel. Pasalnya, sistem tenaga kerja Indonesia saat ini masih tergolong cukup kaku. Hal inilah yang membuat beleid sapu jagat tersebut diperlukan agar pasar kerja pasca globalisasi bersifat fleksibel dan mudah diakses oleh siapa saja.
Baca juga: Wow, UU Ciptaker Jepit dan Merugikan Tenaga Kerja
Banyak orang tidak lagi tergantung kepada perusahaan. Mereka bisa berusaha sendiri, seperti menjadi mitra perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi,Youtuber, startup, dan sebagainya. Itu sudah berkembang luar biasa dan tidak hanya di Indonesia, paparnya.
Lebih lanjut, akibat dari sistem tenaga kerja yang masih kaku tersebut membuat tenaga kerja susah berkembang. Oleh sebab itu, perlu upaya pemerintah sebagai tangan ketiga untuk membantu mereka serta perusahaan. Beleid itu, sambung Tadjuddin, bisa membuat anak-anak muda yang memiliki potensi mengembangkan perusahaan atau usahanya dengan pengurusan izin yang lebih mudah, efektif dan efisien.
Dirinya pun turut menyayangkan pemerintah yang abai dan tidak melindungi pekerja mandiri dengan menjadi mitra perusahaan seperti youtuber, sineas, aplikasi dan sebagainya yang berkembang cukup pesat karena mereka tergolong bukan pekerja formal.
Hal ini terlihat ketika pandemi Covid-19 lalu yang menunjukkan bahwa pekerja informal tersebut tidak mendapatkan pertolongan, diabaikan, serta tidak memiliki tunjangan perlindungan sosial yang cukup untuk mereka.
Editor : Pahlevi