Perkawinan Anak Makin Rawan, Pola Pengasuhan Anak Jadi Sorotan

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Pengasuhan yang menggunakan metode disiplin positif bakal membuat orang tua tidak selalu setuju dengan keinginan anak. Pola pengasuhan seperti itu nantinya membuat anak melakukan apapun yang diinginkan dengan tetap mematuhi aturan serta batasan yang dibuat.

Baca juga: Generasi Z Bicara Soal Pernikahan, Dianggap Tidak Penting?

Hal tersebut dikatakan oleh Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Bidang Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian PPPA, Rohika Kurniadi Sari. Dalam keterangannya, dirinya pun meminta orang tua untuk menerapkan pengasuhan positif di rumah guna mencegah terjadinya perkawinan anak di Indonesia.

Hal ini diharapkan dapat menurunkan angka perkawinan anak karena orang tua dapat memberikan pertimbangan rasional terkait dampak negatif yang disebabkan oleh perkawinan anak, papar Rohika dalam keterangan yang diterima Optika.id, Rabu (10/5/2023).

Dilansir dari Survei Sosial Ekonomi Nasional atau SUSENAS Kor tahun 2020, sebanyak 8,19% perempuan Indonesia menikah di rentang usia 7 -15 tahun. Sementara itu, data dari Mahkamah Agung (MA), selama pandemi dari rentang Januari hingga Juni 2020 sekitar 34 ribu permohonan pernikahan diri diajukan ke pengadilan, dan sekitar 97% permohonan tersebut dikabulkan oleh pengadilan sehingga mereka bisa menikah dengan dispensasi.

Kemudian, sebanyak 1 dari 9 anak Indonesia disebutkan menikah sebelum usia 18 tahun. Hal tersebut berdasarkan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda Tahun 2020. Pun berdasarkan data tahun 2021, angka perkawinan anak Indonesia berada pada 9,23%.

Bahkan beberapa daerah di Kalimantan Timur, berada di atas angka nasional. Di antaranya, Kabupaten Paser, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Penajam Paser Utara, ujar Rohika.

Baca juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?

Hal tersebut kontan harus menjadi perhatian seluruh pihak bersama. Pasalnya, imbuh Rohika, perkawinan anak menyebabkan dampak negatif di berbagai aspek kehidupan anak dan masa depannya.

Dampak negatif tersebut antara lain putus sekolah, kemiskinan struktural, eksploitasi anak, pekerja anak, kesejahteraan ibu dan anak yang menyebabkan kematian ibu, preeklamasia, kematian bayi, kanker serviks, kematian bayi yang meningkat, stunting, serta berat badan lahir rendah. Permasalahan sosial lainnya yang timbul dari perkawinan anak dan pola pengasuhan anak yang tidak ideal ini seperti pola asuh yang salah, hilangnya identitas anak, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita dalam kesempatan yang sama mengamini hal tersebut.

Baca juga: Kekerasan Tak Buat Anak Jadi Penurut dan Disiplin

Dia menjelaskan bahwa penting bagi orang tua untuk mengupayakan upaya preventif serta promotif untuk meminimalisasi terjadinya kasus perkawinan anak. Pasalnya, yang paling berperan di garda depan dalam mengasuh, mendidik dan membentuk karakter anak yakni keluarga atau orang tua itu sendiri.

Selain itu, keluarga dan lingkungan juga menjadi faktor pendukung maupun faktor penghambat terjadinya perkawinan anak. Peranan ini cukup krusial dipegang oleh keluarga terdekatnya.

Pembentukan konsepsi keluarga dalam perkawinan di era globalisasi memengaruhi cara pandang anak sehingga orang dewasa di sekitar anak perlu memberikan pemahaman yang benar kepada anak tentang konsep keluarga dan perkawinan, pungkas Noryani.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru