Optika.id - Untuk waktu yang cukup lama, sejarah yang menyangkut komunitas Belanda dan kelompok keturunan campuran Belanda-Indonesia di Indonesia dianggap sebagai bagian dari sejarah bangsa Belanda saja, - Pradipto Niwandhono dalam Yang Ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia, dikutip Optika.id, Jumat (30/6/2023) .
Baca juga: Perlahan Tumbang, Ini Prediksi Toko Buku di Masa Mendatang
Yang Ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia yang ditulis oleh Pradipto Niwandhono merupakan sebuah buku yang membahas kajian menarik yang cukup sering muncul dalam kepustakaan Belanda namun kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia. Padahal pokok pembahasan menyangkut sepenuhnya pada keberlangsungan sejarah nasionalisme Indonesia. Kaum Indo-Eropa agak diabaikan dalam historiografi Indonesia.
Alasan atas pengabaian itu terletak pada identitas kaum Indo-Eropa yang terjerumus dalam dikotomi penjajah atau yang terjajah. Akan tetapi kaum Indo-Eropa dalam berbagai literatur tergolong Indis. Secara terminologis, produk dari sejarah wilayah jajahan (Hindia Belanda) disebut Indis atau ke-Hindia-an. Seiring waktu istilah Indis lebih mengacu pada kebudayaan suatu komunitas yang muncul sebagai sebab-akibat dari pengaruh Barat terhadap unsur lokal. Bentuk percampuran tersebut berjalan seiringan dengan proses kolonialisme.
Kaum Indo-Eropa merupakan sekelompok orang yang bermukim di Hindia Belanda dan telah mengalami hibridisasi secara biologis maupun sosio-kultural. Sejarah kaum Indo-Eropa termasuk dalam tema sejarah komunitas.
Kaum Indo-Eropa dapat diidentifikasikan sebagai komunitas. Komunitas Indo-Eropa ini berjuang untuk kepentingan bersama dibidang politik, ekonomi dan sosial-kultural. Adapun bentuk perjuangannya termanifestasi organisasi politik seperti Indische Partij.
Kepustakaan yang dipakai dalam buku Yang Ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia relatif tua. Yang menarik ialah keseluruhannya bukan berasal dari kepustakaan Indonesia. Jadi kajian mengenai komunitas Indo-Eropa dengan perspektif penulis Indonesia bisa dibilang baru. Terbukti dengan sangat kesulitannya untuk menemukan kajian lain terkait komunitas Indo-Eropa berbahasa Indonesia kecuali buku karya Pradipto Niwandhono.
Inilah letak keunggulan dari buku Yang Ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia. Pradipto Niwandhono bisa menyajikan interpretasi baru terhadap posisi kaum IndoEropa bagi historiografi Indonesia. Terlebih lagi, buku ini berhasil membeberkan fakta menarik mengenai benih-benih nasionalisme yang muncul justru akibat dari kecemburuan sosial.
Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
Literatur-literatur klasik berkaitan dengan kajian kaum Indo-Eropa berhamburan di perpustakaan Belanda berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia. Hal ini mencerminkan rendahnya apresiasi terhadap komunitas ini. Meskipun perannya dalam memicu nasionalisme cukup signifikan. Kebudayaan hibrida asli Hindia Belanda menggambarkan keseharian dan kebiasaan komunitas Indis yang menyingkap tabir kesadaran atas identitas komunal.
Karena kaum Indo-Eropa yang bingung akan identitasnya selalu berusaha mencari dan terus mencari. Identitas kebangsaan yang dicarinya bertolak berlakang dengan kemauannya untuk mengindentifikasi dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Kesadaran bertahap itu bermula dari konsep sederhana yang bersikukuh bahwa tanah airnya ialah Hindia Belanda. Secara psikologis, jiwa mereka berpihak kepada tanah air yakni Hindia Belanda sehingga bekerjasama dengan kalangan pribumi untuk tujuan bersama menjadi hal wajar. Kesadaran tersebut mengalami transformasi menjadi benih-benih nasionalisme.
Atribut-atribut hibrida menuai kesadaran atas identitas komunal masyarakat Indis yang semakin terintegrasi berkat rangsangan dari isu-isu diskriminasi ras. Kebudayaan Indis dan komunitas pendukung (Kaum Indo-Eropa dan kalangan priyayi Jawa) adalah produk dari sejarah panjang kolonialisme Belanda. Indis berurat akar dari kata Indisch (Indie atau Hindia) yang mengacu pada daerah koloni bangsa Belanda di kepulauan Nusantara.
Baca juga: Balada Keterasingan, Kehampaan dan Depresi di Novel Tsukuru Tazaki
Setelah penjelasan panjang lebar mengenai kaum Indo-Eropa dan kebudayaan Indis, sekarang aspek lain yang perlu fokus perhatian ialah zeitgeist atau jiwa zamannya. Periode pergerakan selalu dominan dengan perlawanan atas kesewenangan kolonialisme. Namun, cara yang ditempuh cukup beragam meski harapan dari tujuannya persis sama.
Zaman pergerakan merupakan istilah yang dipopulerkan oleh sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi dalam disertasinya telah dibukukan dengan judul Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Kaum Indo-Eropa dalam disertasi tersebut hanya dibahas sedikit, meski begitu ada banyak hal penting yang dapat diambil dari situ seperti kronologi pergerakan politik dengan unsur-unsur radikal. Maksudnya rentetan kronologis mengenai asal muasal menentang pemerintah kolonial secara radikal bisa ditemukan disana. Dengan begitu, kaum Indo-Eropa sebagai komunitas semakin terlihat arah gerak, ideologi, pola perjuangan dan tantangannya.
Sebagian besar sumber primer tidak memuat unsur emosional tokoh sejarah dari kaum Indo-Eropa baik Douwes Dekker maupun Karel Zaalberg. Akan tetapi, Pradipto Niwandhono dalam bukunya ini berhasil memunculkannya. Adanya ketidaksepahaman antara dua tokoh pergerakan dari kaum Indo-Eropa yakni Karel Zaalberg dan Douwes Dekker menjelaskan bahwa perjuangan tidak selamanya selaras serta bersifat homogen tanpa pertentangan.
Editor : Pahlevi