Optika.id - Salah satu novel dari penulis kenamaan asal Jepang, Haruki Murakami yang bergaya realis adalah Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya. Murakami mengaku jika dirinya kerap menulis dengan gaya realis serta realisme magis. Apalagi tulisan yang memiliki ending terbuka.
Novel ini bercerita tentang Tsukuru Tazaki yang memiliki empat sahabat karib di SMA. Nama-nama mereka kebetulan mengandung warna. Hanya Tazaki saja yang tidak sehingga dia merasa berbeda. Dua sahabat laki-laki dalam kelompoknya itu dipanggil dengan Akamatsu yang memiliki arti pinus merah dan Oumi yang berarti laut biru.
Baca Juga: Membicarakan Seks Tanpa Tabir dan Lebih Berani!
Sementara itu, sahabat perempuan dalam kelompoknya bernama Kurono yang berarti ladang hitam dan Shirane yang artinya akar putih.
Keempat sahabat Tsukuru menjalin hubungan baik dan rukun. Akan tetapi, secara tiba-tiba mereka semua tidak mau bertemu lagi maupun berbicara dengannya. Untuk selama-lamanya. Alih-alih menjelaskan kepada Tsukuru secara gamblang, mereka meminta Tsukuru agar memikirkan sendiri alasan di balik pengucilan teman-temannya itu. Sejak saat itu, Tsukuru merasa hampa dan kesepian seolah hidupnya tidak berwarna lagi dan dirinya merasa ingin mati saja.
Awal dari novel ini dibuka dengan Tsukuru Tazaki di usianya yang menginjak 20 tahun dan sedang memikirkan kematian. Tsukuru merasakan kesedihan di masa lalu dan fakta bahwa dia diasingkan oleh teman-temannya yang berharga. Dia sempat berpikir untuk mati karenanya, namun urung lantaran dia tidak menemukan cara mati terbaik yang bisa ia hubungkan dengan perasaan kehampaan itu.
Kemudian, narasi beralih ke Tsukuru Tazaki yang berusia 36 tahun. Dia sekarang menjadi insinyur yang membangun dan memperbarui stasiun kereta api. Ketertarikannya kepada stasiun dan kereta api ini bermula dari hobinya yang hanya diam merenung berlama-lama di stasiun kereta api sembari mengamati arus orang-orang dan kereta api yang sedang berlalu lalang di tengah kesibukan kota. Hobinya tersebut membuat Tsukuru merasa tenang.
Alur dari novel ini maju mundur sehingga pembaca harus jeli ketika membaca kisah dari Tsukuru Tazaki ini. Melalui alur yang maju mundur itulah pembaca akan menemukan fakta bahwa Tsukuru hanya memiliki satu orang teman di Tokyo usai dia dikucilkan oleh sahabat-sahabat masa SMA nya, yakni Haida.
Mereka secara kebetulan bertemu di kolam renang kampus, lalu cepat menjadi teman dekat. Secara kebetulan pula, nama Haida mengandung warna di dalamnya karena nama Haida berarti ladang abu-abu.
Namun persahabatannya dengan Haida tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan Haida meninggalkannya dan tidak kembali lagi usai bercerita bahwa dia memiliki masalah keluarga yang cukup pelik. Kehilangan orang secara bertubi-tubi, Tsukuru mau tak mau bertanya-tanya lagi mengapa orang-orang selalu meninggalkannya sendirian.
Murakami membangun karakter Tsukuru Tazaki yang mirip dengan karakter lain di novel-novelnya lain. yakni seorang laki-laki yang dicampakkan, ditinggalkan, kehilangan nafsunya dan terlarut dalam dunia parallel yang dibuatnya sendiri. kemudian, seperti yang sudah-sudah, tokokh tersebut akan berusaha mengambil alih hidupnya dari pengasingan yang kejam.
Karakter yang dibuat mirip seperti Tsukuru ini tak sekali dua kali dimunculkan Murakami. Karakter serupa misalnya Toru Okada di novel Kronik Burung Pegas (The Wind-up Bird Chronicle) atau Toru Watanabe di novelnya yang paling populer, Norwegian Wood.
Berbeda dengan Norwegian Wood yang bermuatan unsur lesbian, dalam Tzukuru Tazaki Murakami membawa adegan homoseksualitas. Namun, antara Tsukuru Tazaki dan Norwegian Wood disebut-sebut mengandung realisme yang mirip dengan karakter, konflik dan resolusi yang lebih dewasa dibandingkan dengan Norwegian Wood.
Baca Juga: Tak Bisa Dipandang Sepele, Ini Manfaat Menulis Tangan yang Banyak Manfaat
Tak lupa, seperti kebiasaan Murakami yang sudah-sudah, tidak ada playlist musik Jepang yang bisa didengarkan sebagai iringan ketika membaca novel ini. Alih-alih lagu Jepang, Murakami kembali menghadiahi pembaca playlist musik klasik dari Fransz Liszt yang digubah oleh Lazar Berman berjudul Le mal du pays untuk didengarkan ketika membaca novel ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alur kemudian beralih, Tsukuru di usianya yang menginjak 36 tahun kemudian bertemu dengan Sara. Dia bercerita kepada perempuan itu perihal pengasingan yang dilakukan oleh teman-temannya yang tidak beralasan sama sekali sehingga membuat dia terbayang-bayang alasan mereka meninggalkannya.
Pada akhirnya, Sara yang lebih dewasa menyarankan agar Tsukuru berani menghadapi semuanya, menemui dan mengobrol bersama teman-temannya perihal pengasingan dirinya 16 tahun silam itu.
Dibantu secara tidak langsung oleh Sara, Tsukuru yang seorang diri menapaki masa lalunya dengan menjalin temu dengan sahabat-sahabatnya menemukan fakta mengapa dirinya dikucilkan secara sepihak tanpa penjelasan. Salah seorang sahabat perempuannya, telah menuduhnya di hadapan tiga orang temannya jika Tsukuru memperkosa dirinya. Maka dari itu mereka menerima saja fakta itu karena tidak ada pilihan lain. Apalagi, cerita temannya itu sangat meyakinkan teman-temannya yang lain.
Beberapa tahun kemudian, teman perempuannya tadi mati dicekik dalam suatu pembunuhan yang tidak terpecahkan dan menjadi misteri. Usai mengetahui itu semua, Tsukuru sudah merasa tenang dan kembali mencari Sara.
Dalam novel ini, Murakami kembali meninggalkan beberapa misteri yang tak terpecahkan dan seolah membiarkan pembaca berspekulasi. Pembaca tidak akan pernah tahu siapa yang memperkosa dan membunuh teman perempuan Tsukuru, atau mengapa Haida tiba-tiba pergi begitu saja meninggalkan Tsukuru yang bertanya-tanya.
Baca Juga: Tingkat Kinerja Baca Rendah, IKAPI: Banyak yang Sulit Bedakan Fakta dan Opini
Keputusan Murakami untuk tidak menjawab dan menjabarkan secara gamblang misteri-misteri yang dia sematkan dalam novelnya itu lantaran dirinya ingin mengingatkan pembaca bahwa manusia tak mungkin mengetahui segalanya, termasuk misteri tergelap sekalipun. Murakami mengingatkan bahwa akan selalu ada berbagai macam pertanyaan di kepala yang tidak bisa dijawab atau dipecahkan.
Selain itu, novel ini juga sama seperti Murakami yang biasanya yang selalu memiliki masalah dengan isu feminism. Pasalnya, perempuan yang digambarkan oleh Murakami dalam novel Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya ini mirip dengan novel-novelnya yang lain. yakni perempuan yang sangat susah untuk dimengerti, perempuan yang tiba-tiba menghilang begitu saja, atau perempuan yang benar-benar cantik, bahkan gila.
Karena itulah, Murakami dikritik sana-sini lantaran dianggap tidak bisa menggambarkan perempuan. Padahal, secara tidak langsung dia memang mengakui bahwa perempuan adalah mahkluk yang sulit untuk dimengerti, khususnya oleh laki-laki.
Lebih lanjut, Murakami sangat jarang menggunakan perempuan sebagai tokoh utama dalam novel-novelnya. Mungkin, sampai sejauh ini hanya Aomame dari novelnya yang berjudul 1Q84 saja yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut.
Pada akhirnya, dalam semesta Murakami, tubuh perempuan hanya akan menghiasi narasi yang nir analisis. Sama seperti Tsukuru Tazaki yang sepanjang novel berusaha mencari jawaban atas hysteria teman perempuannya tanpa berusaha untuk menggugatnya.
Editor : Pahlevi