Optika.id - Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Titi Eko Rahayu mengatakan bahwa tingginya angka perkawinan anak merupakan salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Menurutnya, perkawinan anak di usia dini tersebut bisa memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada perempuan dan anak-anak.
Baca juga: Caleg Gagal Butuh Dukungan Moril dari Keluarga
Amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan di tahun 2019 di mana usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat. Namun di lapangan, permohonan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan ini sudah sangat mengkhawatirkan, ungkapnya dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Optika.id, Minggu (16/7/2023).
Padahal, sambung Titi, anak-anak tersebut merupakan harapan masa depan bangsa agar menjadi generasi emas. Sementara ketika mereka memutuskan untuk menikah di usia dini, masalah-masalah tersbeut mulai muncul dan memupuskan peluang masa depan bangsa emas itu.
Ini tanggung jawab bersama karena isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral, ujarnya.
Di satu sisi, dampak dari pernikahan dini ini apabila ditilik dari kacamata psikologi juga mempunyai deretan masalah yang bisa merugikan pasangan muda serta kestabilan mental mereka. Menurut Psikolog klinis dan forensik, A. Kasandra Putranto dalam keterangannya menyebut jika pernikahan dini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental lantaran pasutri merasa terkungkung dan dibatasi dalam menentukan pilihan serta mereka yang merasa kurang puas dengan kehidupan yang serba terbatas dan diatur.
Pandangan bahwa menikah pada usia muda dianggap sebagai hal yang diharapkan dan dianggap sebagai kewajiban sosial atau agama dapat mempengaruhi tingginya angka pernikahan dini, kata Kasandra kepada Optika.id, Senin (17/7/2023).
Pasangan muda yang menikah di usia dini, imbuh Kasandra, juga rentah menghadapi rendahnya dukungan sosial baik dari teman sebaya, masyarakat, hingga keluarga masing-masing. Dus, sebagian masyarakat juga masih memandang pernikahan sebagai tanda kedewasaan dan kewajaran bagi perempuan untuk menikah di usia yang lebih muda agar terhindar dari stigma perawan tua yang tidak laku-laku.
Nyatanya, pernikahan di usia dini belum menjamin adanya kesiapan dari masing-masing pihak baik fisik maupun psikologis pasutri itu sendiri. Hal-hal tersebut yang akan memberikan dampak signifikan pada perkembangan mental pasutri yang menjalani biduk rumah tangganya itu.
Baca juga: Pemilu Sebabkan Banyak Orang Stres, Ini Cara Mengatasinya
Mereka mungkin belum memiliki pemahaman yang memadai tentang diri mereka sendiri, kebutuhan emosional, dan bagaimana mengelola emosi yang kompleks dalam hubungan pernikahan, kata dia.
Kasandra menjelaskan, dalam banyak kasus pernikahan dini juga menyumbang risiko masalah kesehatan mental serta menimbulkan tantangan yang cukup kompleks bagi pasangan muda yang minim pengalaman itu. Di sisi lain, ancaman yang membayangi adalah ketergantungan finansial yang tinggi pada orang tua sehingga menyebabkan adanya relasi kuasa, rasa ketidakberdayaan, dan meningkatkan risiko stress maupun depresi.
Pasangan muda mungkin tidak memiliki keterampilan komunikasi dan penyelesaian konflik yang baik, yang dapat menyebabkan peningkatan risiko konflik dan kekerasan dalam hubungan mereka, jelas Kasandra.
Sementara itu, Peneliti dari Monash University, Danusha Jayawardana dalam penelitiannya pun mengungkapkan praktik pernikahan di usia muda terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun berdampak negatif. Terutama pada kesejahteraan mental perempuan.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Hidup Bisa Jaga Kesehatan Mental Lho! Bagaimana Caranya?
Diketahui bahwa dari hasil penelitian tersebut 30% perempuan yang menikah di usia 18 tahun rentan mengalami depresi sedangkan perempuan yang menikah di umur 18 tahun ke atas mampu mengurangi risiko perempuan yang mengalami depresi.
Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena'missing women'atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia, tulis Danusha, dikutip Optika.id, Senin (17/7/2023).
Pernikahan usia dini, ujar Danusha, seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender yang secara tidak proporsional merugikan perempuan. Pernikahan dini tersebut juga berpotensi untuk mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan yang berisiko seperti KDRT dan menyakiti diri sendiri karena berhubungan dengan relasi yang toxic dan abusive.
Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini, pungkasnya.
Editor : Pahlevi