Revolusi Hijau di Jawa, Ketika Pertanian di Modernisasi

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Revolusi Hijau sebenarnya telah direncanakan pada masa pemerintahan Soekarno. Sayangnya karena situasi politik yang begitu pelik, wacana akan pelaksanaan program tersebut tidak dapat direalisasikan. Baru setelah bergantinya kepemimpinan dari Soekarno menjadi Soeharto, program Revolusi Hijau dapat terealisasi.

Baca juga: Kemenangan Prabowo = Kebangkitan Orde Baru?

Menurut tulisan dari Mufid Fareza bertajuk Dampak Kebijakan Perekonomian Era Orde Baru Terhadap Pembangunan di Indonesia, yang dikutip Optika.id, Minggu (30/7/2023) Revolusi Hijau ini dimulai dari Repelita I atau rencana pembangunan lima tahun sesuai arahan dari penasihatnya yakni kelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang saat ini lebih akrab disebut kelompok Berkeley. Juga adanya masukan dari PBB untuk menerapkan Revolusi Hijau agar dapat meningkatkan produksi pangan. Hal ini juga mendapat dukungan dari Rockefeller serta Ford Foundation, khususnya terkait peningkatan produksi padi dan gandum untuk mengatasi krisis pangan.

Revolusi Hijau merupakan suatu ide yang lahir dari hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert Malthus (1766-1834) yang mengemukakan bahwa masalah kemiskinan dan kemelaratan adalah masalah yang tidak dapat dihindari oleh manusia.

Dalam tulisannya yang mengulas terkait Revolusi Hijau, Thomas Robert Malthus berpendapat bahwa kemiskinan dan kemelaratan terjadi karena pertumbuhan penduduk dan peningkatan produksi pangan tidak seimbang.

Tulisan dari Thomas Robert Malthus itu kemudian mempengaruhi masyarakat Eropa sehingga memunculkan gerakan untuk mengendalikan jumlah penduduk dan penelitian bibit unggul untuk menambah jumlah produksi pangan. Dengan cara menekan jumlah penduduk dan memasifkan penggunaan bibit unggul yang mampu menambah hasil pertanian tersebut masyarakat mengharapkan masalah kemiskinan dan kemelaratan akan teratasi.

Terjadinya peristiwa Perang Dunia I telah merusak banyak lahan akibat perang, selain itu beberapa dekade sebelumnya lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik akibat Revolusi Industri yang terjadi. Kondisi tersebut lambat laun akan mengancam stabilitas pangan di negara-negara Eropa.

Menanggapi permasalahan tersebut, para pengusaha Amerika menginisiasi untuk mengembangkan pertanian dengan melaksanakan penelitian. Usaha dalam meningkatkan produksi pangan tersebut yang diwujudkan dalam Revolusi Hijau. Penelitian ini disponsori dan dipelopori oleh dua lembaga penelitian, yaitu Ford Foundation dan Rockfeller Foundation.

Target dari penelitian tersebut adalah mencari berbagai macam varietas tanaman penghasil biji-bijian terutama yang bisa menghasilkan dalam jumlah banyak khususnya seperti beras dan gandum. Selain itu, perkembangan teknologi alat pertanian juga memengaruhi Revolusi Hijau.

Sukirno dalam Membangun Pertanian dengan Pemberdayaan Masyarakat Tani: Terobosan Menanggulangi Kemiskinan menulis bahwa pasca Perang Dunia II, Revolusi Hijau semakin digencarkan demi memperbaiki kondisi perekonomian dan produksi pangan.

Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Pasca perang tersebut semua lahan hancur dan berakibat pada produksi pangan dunia yang kurang. Dengan hancurnya lahan-lahan tersebut dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi pertanian seperti pembukaan lahan-lahan baru, mekanisme pertanian baru, penggunaan pupuk-pupuk baru, dan sebagainya.

Pada tahun 1962, Rockefeller Foundation bekerja sama dengan Ford Foundation mendirikan sebuah badan penelitian untuk tanaman padi di Filipina. Badan penelitian ini dinamakan International Rice Research Institute (IRRI) yang bertempat di Los Banos, Filipina.

Tujuan utama IRRI adalah untuk mencari cara meningkatkan kesejahteraan petani, konsumen, serta lingkungannya. Dalam perjalanannya, IRRI telah menghasilkan suatu varietas padi baru yang hasilnya jauh lebih baik daripada hasil varietas lokal di Asia.

Varietas baru tersebut merupakan hasil persilangan genetik antara varietas padi jangkung dari Indonesia yang bernama Peta. Hasil persilangan tersebut diberi nama IR 8-288-3 (IR8) dan di Indonesia dikenal dengan sebutan padi PB-8.

Perkembangan Revolusi Hijau sangat pesat di dunia, di daerah-daerah yang dulunya daerah sedang berkembang dan daerah yang selalu kekurangan akan hasil produksi pertaniannya, seperti India yang berhasil menambah jumlah produksi gandumnya dalam jangka waktu enam tahun mejelang tahun 1970.

Baca juga: Mahfud MD: KKN Zaman Reformasi Lebih Parah dari Zaman Soeharto

Fillipina pun demikian telah mampu mengatasi ketergantungannya terhadap impor beras bahkan pada tahun 1960 Fillipina menjadi ekspotir beras terbesar. Hal tersebut yang mendorong pemerintah Orde Baru untuk menerapkan Revolusi Hijau dan yakin bahwa Revolusi Hijau ini akan menghasilkan banyak pangan untuk penduduk dengan jangka waktu yang kebih panjang. Produksi hasil pertanian semakin meningkat dan melimpah. Berbeda dengan era Orde Lama apalagi saat itu memang ekonomi mengalami keterpurukan sehingga menuntut Pemerintah Orde Baru untuk memulihkan kondisi tersebut.

Kebijakan Revolusi Hijau kemudian masuk dalam agenda Repelita I yang dimulai pada tahun 1969.32 Repelita I memiliki tujuan meningkatkan taraf hidup rakyat sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan ditahap berikutnya.

Peningkatan taraf hidup rakyat banyak tersebut dilakukan melalui pembangunan dibidang pertanian. Tujuan utamanya ialah meningkatkan komoditi pangan, khususnya adalah produksi beras.

Pelaksanaan dari program Revolusi Hijau ditandai dengan perubahan dari sistem atau cara bertani yang tidak lagi menggunakan cara lama tetapi dengan cara-cara modern. Alasannya karena dengan menggunakan sistem atau cara yang baru, jumlah produksi yang dihasilkan akan lebih banyak dengan waktu yang relatif singkat. Ternyata hal tersebut terbukti, selama periode Repelita I didapatkan hasil kenaikan produksi padi sekitar 6% setiap tahunnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru