Optika.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mempertimbangkan untuk menghapus sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ditentang oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pasalnya, kekurangan PPDB sistem zonasi masih dapat diperbaiki bersama dan menghapusnya begitu saja terkesan cuci tangan atas masalah yang ada.
Baca juga: FSGI Koreksi Visi Misi Capres Terkait Pendidikan
Menurut Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, diperlukan kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga PPDB sistem zonasi ini setahap demi setahap bisa dirasakan manfaatnya.
"Sebaiknya dievaluasi bukan diganti sistemnya," papar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti dalam siaran pers nya beberapa waktu yang lalu.
Retno menjelaskan bahwa sedari awal FSGI mendukung kebijakan PPDB sistem zonasi ini sejak diberlakukan pertama kalinya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu, Muhadjir Effendy di tahun 2017. Alasan FSGI mendukungnya adalah sistem zonasi dinilai menjunjung tinggi keadilan serta hak atas pendidikan sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi.
Selama 50 tahun sebelum zonasi, PPDB masih menggunakan sistem seleksi nilai Ujian Nasional (UN). Tak ayal, anak-anak yang diterima di suatu sekolah adalah mereka yang memiliki nilai tertinggi dan pada akhirnya sistem tersebut melahirkan adanya sematan sekolah unggulan atau favorit dan sekolah buangan tempat peserta didik yang tidak diterima di sekolah unggulan itu.
Sekolah seperti itu pun memiliki banyak prestasi baik akademik maupun non akademik dari level daerah atau lokal hingga internasional. Pada akhirnya sekolah-sekolah ini pun mendapatkan dukungan dana dari APBN dan APBD yang mana sekolah negeri lainnya tidak bisa menikmati hal tersebut sehingga memicu ketidakadilan dan kesenjangan.
Sistem PPDB tersebut selama 50 tahun memang nyaris tak ada gejolak, karena sistem tersebut diserahkan pada mekanisme pasar, negara minim sekali kehadirannya," imbuh Retno.
Baca juga: FSGI: Kekerasan di Keluarga Buat Anak Menormalisasi Tindak Kekerasan
Anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri, imbuh Retno, umumnya datang dari keluarga yang tidak mampu secara finansial. Pada akhirnya mereka hanya pasrah tidak diterima di sekolah negeri lantaran nilai akademik yang umumnya lebih rendah dibandingkan dari anak-anak keluarga mampu.
Dalam keterangan yang sama, Sekjen FSGI, Heru Purnomo mengamini pernyataan Retno tersebut. Hal itu berdasarkan hasil survei dari Kemendikbud selama kurang lebih 8 tahun yang mendasari kebijakan zonasi pada tahun 2017 silam dan menunjukkan bahwa sekolah negeri didominasi oleh anak-anak yang berasal dari keluarga mampu.
Dia menjelaskan bahwa umumnya anak-anak yang mempunyai nilai akademik tinggi datang dari keluarga mampu karena beberapa hal yakni sedari kecil mereka mendapatkan asupan gizi yang baik dan seimbang, serta terpenuhinya sarana dan prasarana belajar yang memadai.
Di sisi lain, orang tua mereka mampu membiayai les privat atau bimbingan belajar sehingga wajar saja apabila anak-anak dari keluarga mampu mengisi bangku sekolah unggulan.
Baca juga: PPDB Sistem Zonasi Akan Dihapus
Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Anak-anak tersebut menurut Heru mendapatkan asuransi gizi rendah, minim mendapatkan sarana belajar memadai, dan orang tua mereka tak mampu membayar bimble. Tak jarang, mereka juga harus membantu orang tuanya di rumah atau berjualan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Anak-anak pada kelompok ini adalah yang terpinggirkan ketika PPDB sebelum menggunakan sistem zonasi," papar Heru dalam siaran pers yang sama.
Sebagai informasi, berdasarkan studi Program RISE di Yogyakarta yang digelar pada tahun 2020 lalu, bersama dengan The SMERU Research Institute menunjukkan adanya peningkatan proporsi siswa berlatar belakang ekonomi rendah di SMP berkualitas tinggi setelah zonasi diberlakukan. Kemudian, seiring kebijakan tersebut diberlakukan, ada peningkatan proporsi siswa berlatar belakang ekonomi menengah ke atas di SMP yang berkualitas rendah.
Editor : Pahlevi