Optika.id - Dalam satu bulan terakhir, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mencatat ada sekitar 5 kasus indikasi kekerasan di sekolah.
Pertama, kasus guru di Lamongan yang mencukur rambut siswinya lantaran tidak memakai jilbab sesuai dengan peraturan di sekolah. Kedua, seorang anak SD di Menganti, Gresik, dipalak dan dicolok matanya oleh kakak kelas korban. Peristiwa itu menyebabkan kebutaan di salah satu matanya.
Baca juga: KPPPA Minta Kasus Perundungan Sekolah Internasional Binus Diselesaikan dengan UU Pidana Anak
Ketiga pembacokan seorang guru Madrasah Aliyah di Demak. Peristiwa etrsebut diduga lantaran siswa tidak diperbolehkan ikut ujian karena belum mengumpulkan tugas.
Keempat, seorang siswa dipukuli dengan bertubi-tubi atau dianiaya oleh siswa lain sambil direkam oleh siswa lainnya. Pelaku dan korban diduga dari SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap.
Dan terakhir, siswi SDN Pesanggrahan Jakarta Selatan diduga melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Korban melakukan tindakan tersebut dipicu karena tidak kuat menahan perundungan dari teman-temannya.
"Seminggu ini dunia pendidikan kita sedang berkabung. Indikasi kuat sekolah belum memahami Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP)," kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/9/2023).
Menurut pihaknya, Permendikbudristek PPKSP ini masih belum disosialisasikan secara optimal oleh Kemendikbudristek, Dinas Pendidikan, hingga sekolah-sekolah, orang tua maupun siswa itu sendiri.
Iman juga menyayangkan bahwa Permendikbud PPKSP ini masih belum mampu menangani bahkan mencegah kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Bahkan, Permendikbud PPKSP ini tidak banyak diketahui oleh guru, siswa serta orang tua.
Baca juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
Berdasarkan banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di sekolah serta pihak sekolah yang cenderung abai, P2G memberikan lima rekomendasi untuk masalah ini.
Pertama, Kemendikbudristek harus melakukan sosialiasi Permendikbudristek PPKSP kepada semua pemangku kepentingan bidang pendidikan seperti Dinas Pendidikan, pengawas sekolah, organisasi profesi guru, orang tua dan siswa secara berjenjang.
Kedua, P2G mendesak dibentuknya Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah oleh seluruh Dinas Pendidikan, pengawas sekolah dan kepala sekolah itu sendiri. tujuan dibentuknya TPPK ini yakni sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
"P2G menilai masih sangat minimnya sekolah yang sudah membentuk TPPK hingga hari ini," ungkap Iman.
Baca juga: Bullying Terjadi Lagi, FSGI: Sekolah Tak Boleh Cuci Tangan dan Main Aman
Yang ketiga, memberi pelatihan dan pemahaman keterampilan kepada para guru dan siswa untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan di sekolah. Implementasi ini sebagai wujud bahwa pelatihan PPKSP dan pembentukan TPPK bukan hanya sebuah formalitas dan administrative saja.
"Selama ini sekolah hanya berhenti pada aksi "Deklarasi Anti Perundungan" atau "Deklarasi Sekolah Ramah Anak" yang sekedar jargon belaka," ujar Iman.
Keempat, Kementerian Agama (Kemenag) yang menaungi Madrasah diharapkan segera mengadopsi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 untuk segera digunakan dan diterapkan di lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Pasalnya, sejauh ini Permendikbud PPKSP hanya dipahami untuk sekolah umum saja, bukan untuk lembaga pendidikan berbasis keagamaan seperti Madrasah.
Terakhir, P2G meminta jangan sekali-kali bagi pihak sekolah, madrasah maupun satuan pendidikan berbasis agama untuk menutupi kasus, serta melindungi pelaku apapun bentuk aksinya seperti perundungan, dan kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
Editor : Pahlevi