Optika.id - Sebanyak 75% siswa di pedesaan tidak menguasai kompetensi minimum menurut standar Sustainable Development Goals (SDGs). Ketertinggalan belajar siswa pedesaan tersebut jauh lebih besar daripada siswa yang tinggal di perkotaan yakni 56%.
Data-data tadi dikutip berdasarkan studi kerja sama yang terjalin antara program kemitraan Australia-Indonesia, INOVASI, dengan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknolohi (Kemendikbudristek) yang dirilis dalam buku bertajuk Bangkit Lebih Kuat.
Baca juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
"Memang biasanya kondisi di pedesaan, apalagi yang terpencil, itu memiliki akses yang lebih sedikit ke sumber daya dan juga ke bantuan-bantuan profesional," jelas Manajer Monitoring, Evaluation, Research and Learning (MERL) Program INOVASI, Rasita Ekawati Purba dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/9/2023).
Dia mengamati bahwa para guru di pedesaan cenderung mempunyai kualifikasi yang jauh lebih rendah lantaran adanya keterbatasan informasi dan kesenjangan baik dari segi infrastruktur, pembelajaran hingga fasilitas. Maka dari itu, tak heran jika kemampuan mereka untuk mengakses bahan pembelajaran juga lebih terbatas dibandingkan dengan guru di perkotaan.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 56% guru di pedesaan serta daerah terpencil memiliki rasa kurang percaya diri dalam menyelenggarakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama masa pandemic kemarin. Sementara keadaan berbanding terbalik di perkotaan yang hanya merasa demikian sebanyak 37% guru saja.
Rasita melanjutkan, masyarakat desa juga cenderung menggunakan Bahasa daerah sebagai Bahasa ibu sehingga hal tersebut membuat penguasaan Bahasa Indonesia mereka terbatas.
Baca juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
Walaupun tidak menjadi masalah, namun kondisi tersebut dikatakan menjadi kian berat dan menjadi beban tersendiri lantaran masyarakat pedesaan biasanya memiliki latar belakang ekonomi yang kurang mampu. Sehingga, hal tersebut menjadi faktor yang membatasi kemampuan keluarga siswa dalam mengakses perangkat dan jaringan internet untuk belajar.
Lebih lanjut, studi tersebut juga menjabarkan sekitar 68,8% orang tua di pedesaan dan daerah terpencil terlibat dalam pembelajaran anak-anak mereka. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan orang tua di perkotaan yang terlibat dalam pembelajaran anak-anak mereka ykani sebanyak 76,9%.
Dengan kata lain, Rasita menyebut bahwa salah satu faktor kerentanan yang memicu ketertinggalan belajar adalah tinggal di pedesaan. Kerentanan tersebut, ujarnya, dapat berkaitan satu sama lain dengan kerentanan lain sehingga memunculkan masalah baru. di sisi lain, siswa dengan multi kerentanan pun berpotensi besar memiliki hasil belajar yang lebih rendah dan motivasi yang rendah pula.
Baca juga: FSGI Koreksi Visi Misi Capres Terkait Pendidikan
Misalnya saja berkaitan dengan disabilitas. Berdasarkan studi tersebut, ditemukan sebanyak 91% siswa laki-laki di pedesaan yang menyandang disabilitas dinyatakan tidak memeneuhi kompetensi minimum. Berbanding terbalik dengan siswa laki-laki penyandang disabilitas di perkotaan yang tidak mencapai kompetensi minimum lebih sedikit yakni 82%.
Anak-anak di pedesaan, ujar Rasita, tentu mempunyai hak pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya. Akan tetapu, mereka memiliki kebutuhan yang berbeda dengan berbagai faktor dan pertimbangan.
"Kebutuhan yang berbeda ini yang perlu diakomodasi oleh berbagai pihak. Mulai dari kebijakan pemerintah, sekolah, dan sebagainya," pungkasnya.
Editor : Pahlevi