Optika.id - Beberapa pekan lalu, publik digemparkan dengan kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian perempuan bernama Dini Sera Arfrianti (28). Kasus penganiayaan ini dilakukan oleh kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur (31) yang merupakan anak dari salah satu anggota DPR RI dari fraksi PKB, Edward Tannur.
Menanggapi kasus tersebut, Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai jika kasus penganiayaan yang berujung kematian tersebut termasuk ke dalam kategori femisida. Menurut Mike, hal tersebut dikategorikan sebagai femisida lantaran penganiayaan dan pembunuhan itu dilakukan karena pelaku merasa berkuasa dan pantas melakukan kekerasan kepada seorang pacarnya, seorang perempuan.
Baca juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Femisida itu, kan, apa ya kekerasan atau perlakuan atau jenis kekejaman yang itu terjadi pada perempuan atau anak yang dikarenakan jenis kelaminnya. Terutama karena mereka perempuan gitu ya jadi perempuan itu dianggap kaum yang wajar menerima kekerasan karena dia perempuan, kata Mike, kepada Optika.id, Jumat (20/10/2023).
Femisida pun bukan hanya terjadi dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saja, melainkan juga dalam bentuk pemerkosaan dalam rezim militerisme, seperti yang terjadi era Orde Baru, atau pembungkaman aktivis perempuan dengan cara dihilangkan nyawanya.
Mike menegaskan jika penanganan kasus-kasus femisida ini masih belum efektif di Indonesia. pasalnya, hukuman atas pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan masih dikategorikan sebagai pembunuhan umum, bukan khusus.
Adapun tindak pidana pembunuhan tersebut diatur dalam Pasal 338 sampai Pasal 350 KUHP. Kemudian, Pasal 458 sampai dengan Pasal 462 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP dan apabila kasus femisida terjadi dalam lingkup rumah tangga bisa menggunakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Apabila dalam kekerasan seksual, bisa mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Yang menjadi masalah menurut Mike adalah adanya stigma dan perspektif penanganan korban yang masih cenderung menilai negatif sisi keperempuanan atau feminisasi dari korban itu sendiri. hal ini lah yang membuatnya khawtair lantaran cara pandnag penerap atau penegak hukum dalam mengadili dan memproses kasus femisida cenderung bias.
Dengan kata lain, korban perempuan lebih sering disalahkan bahkan dicap negatif lantaran sisi keperempuanannya tidak bisa dijaga hingga mengakibatkan dia menjadi korban dari tindakan kekerasan atau bahkan pembunuhan.
Baca juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?
Kita masih punya tantangan nih bahwa aparat penegak hukum kita paham enggak posisi-posisi ini? Atau masih bias enggak terhadap korban? tegas Mike.
Melihat banyaknya kasus femisida yang disamarkan menjadi kasus biasa, dirinya mengaku khawatir. Maka dari itu, dia berharap agar ada suatu audit bagi para aparat penegak hukum dan pejabat publik yang masih bias gender dan seksis dalam menangani kasus femisida. Apabila diperlukan, Mike juga mengusulkan agar yang terbukti melakukan pelanggaran bias nan seksis tadi untuk segera dijatuhi sanksi dan pembinaan.
Lebih lanjut, dia menyebut jika femisida didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki dan menguasai perempuan, hingga ketimpangan relasi kuasa.
Senada dengan Mike, Veronica Adesla selaku psikolog klinis juga menyatakan bahwa dalam kasus Ronald, tindakan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan identic dengan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban.
Baca juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS
Vero menilai jika perempuan masih sering dianggap sebagai barang property milik pribadi sehingga bebas diperlakukan seenaknya dan menjadikannya sebagai objek kebencian untuk ditindas maupun dinikmati. Tak heran, perempuanlah yang paling sering menjadi korban kekerasan dan ketimpangan relasi kuasa ini.
Hal ini terkait dengan masih kuatnya ketidaksetaraan gender di mana budaya patriarki di keluarga, komunitas, dan masyarakat menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki, ungkapnya.
Editor : Pahlevi