Ikrar Nusa Bhakti: Demokrasi Bisa Kembali Berjalan Atau Kalah dengan Politik Dinasti?

Reporter : Danny
Dok. Pribadi

Optika.id - Eks Peneliti LIPI sekaligus Duta Besar Indonesia di Tunisia pada tahun 2017-2020, Prof Ikrar Nusa Bhakti mengatakan politik dinasti Jokowi sebenarnya sudah berlangsung sejak 2020 ketika dilakukan rekayasa politik agar Gibran memenangi Pilkada Surakarta. Untuk mencegah agar Gibran menghadapi kotak kosong, maka diciptakanlah pesaing boneka yang tentunya dapat dikalahkan secara mudah oleh Gibran.

Kemudian, sejak awal 2023, secara terang benderang Presiden Jokowi melakukan cawe-cawe politik terhadap para relawan Jokowi, partai-partai politik agar mendekat ke Prabowo dan Gerindra, Membisikkan agar para pemimpin parpol menerima pasangan.

Baca juga: Isu Partai KIM Ikuti Saran Jokowi Setelah Menjabat, Pengamat Ungkap Tergantung Hubungannya!

Empat bulan menjelang pelaksanaan Pilpres 2024, dilakukan penetrasi politik agar Prabowo-Gibran dapat memenangi Pilpres 2024 dengan mudah. Seperti kebulatan tekat para kepala desa seperti yang dilakukan pada era Presiden. Kedua, dugaan akan dilakukannya tekanan politik pada institusi-institusi negara seperti ASN, TNI, Polri, Intelijen agar melakukan mobilisasi rakyat pemilih agar memenangkan Prabowo-Gibran.

"Supaya sang anak bungsu bisa mendapatkan suara 9,6%. Gila itu, kita mau nggak supaya anak muda terbuka pikirannya. Melakukan literasi politik, justru mendukung anda berpolitik sejak mahasiswa, masuklah BEM, organisasi kampus, karena disitu anda belajar berorganisasi. Tidak ada itu maka kamu akan blank ketika memasuki dunia kerja," kata Ikrar kepada Optika.id secara langsung, Kamis, (23/11/2023).

Baca juga: Ikrar Nusa Bhakti: Apa yang Dilakukan Jokowi Bukan Kepentingan Rakyat

"Indonesia sudah seperti republik tapi serasa kerajaan, saya mengambil dari puisinya Gus Mus yang mengatakan republik serasa kerajaan. Jadi kalau ada terjadi dinasti politik, setelah Gibran ada Bobby, abis Bobby ada Kaesang. Katakanlah, setelah 30 tahun, diubah lagi di MK boleh dong jadi Cawapres, jadi Capres," tambahnya.

Selanjutnya, bagi Prabowo, ini adalah pilpres terakhir baginya. Karena itu, semboyannya adalah to be or not to be, now or never. Bagi Gibran, ini juga aji mumpung. Now and never tanpa ada rasa malu, tanpa ada etika. Bagi pejuang demokrasi, demokratisasi memang membutuhkan ketahanan diri yang lama untuk melanjutkan proses demokrasi dari konsolidasi demokrasi menuju demokrasi substansial/matang.

Baca juga: Ikrar Nusa Bhakti: Prabowo Tak Akan Mau Dikuasai Jokowi Setelah Terpilih

"Kalau dosen-dosen disini tetap mendukung Gibran, ya saya nyatakan para dosen itu Gagal menjadi Dosen. Karena apa, berpolitik itu mempunyai etika, bukan sembarangan masuk lewat kekuasaan. Kalau punya pilihan lain, sebaiknya pilihlah yang lain. Kalau pilih kerajaan maka sama saja hak pilih tidak berfungsi dengan baik, ulasnya dengan gemuruh tepuk tangan dari para audience.

"Jadi kita harus merajut demokrasi Indonesia, jangan berfikir bahwa orang Indonesia memiliki niat baik. Kenapa saya katakan begitu, dulu Jokowi adalah kita, sekarang Jokowi adalah rakyat. Anda bisa bayangkan, tidak ada undang-undang yang membatasi kepuasan presiden melakukan begini begitu. Tidak boleh presiden mengajukan amandemen kelima hanya untuk membuat dia kesempatan dalam periode ketiga. Kemudian tidak boleh juga presiden membuat eksekutif order, baik itu penetrasi politik maupun menggunakan APBN untuk manipulasi politis membeli suara rakyat memilih Prabowo-Gibran. Jangan memandang Hakim Konstitusi orang setengah dewa yang tidak lagi memiliki kepentingan politik. Apa yang terjadi di MK, mereka bukan hakim setengah dewa, mereka punya kepentingan sendiri. Orang bersalah tidak menyatakan bersalah tanpa ada rasa malu sedikitpun," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru