Mengenal Gangguan Cemas Saat Pemilu, Saat Pemilihan Umum Malah Mengancam Psikologis

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang hanya tinggal menghitung hari, iklim politik dari masing-masing kubu tentunya kian memanas dan membuat banyak orang merasa cemas. Alhasil, banyak orang yang secara tak sadar mengalami apa yang disebut dengan gangguan stress saat pemilu atau election stress disorder.

Istilah tersebut mengacu pada fenomena yang diamati oleh psikolog sekaligus penulis Soar Above: How to Use the Most Profound Part of Your Brain under Any Kind of Stress, Steven Stosny saat pemilu di Amerika Serikat 2016 yang lalu.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Fitnah dan kampanye negatif, ditambah berita 24 jam dan media sosial, menciptakan tingkat stres dan kebencian yang mengganggu hubungan banyak orang. Saya menamakannya election stress disorder, ujar Stosny dalam Washington Post, dikutip Optika.id, Senin (5/2/2024).

Stosny mengamati, usai proses pencoblosan, masyarakat juga cenderung bisa mengalami gangguan stress pasca pemilu atau post-election stress disorder dan gangguan stress besar atau headline stress disorder.

Bagi banyak orang, kata Stosny, informasi yang terus menerus didapatkan dari sumber berita, blog, media sosial, dan fakta alternatif bisa terasa seperti ledakan rudal dalam kepungan tanpa akhir.

Berdasarkan pengamatannya, Stosny menjabarkan bahwa perempuan nampak sangat rentan terhadap post-election stress disorder ini. Pasalnya, banyak yang secara pribadi merasa diremehkan, diabaikan, ditolak, tak didengar dan tak aman.

Adapun salah satu tanda orang mengalami election stress disorder menurut Stosny adalah tubuh mereka yang cenderung tegang bahkan sebelum melihat berita.

Kecemasan adalah respons sistem saraf pusat secara umum. Dan cara kebanyakan orang mengatasi kecemasan adalah dengan menyalahkan seseorang, dan sayangnya hal itu pada akhirnya akan menimpa orang terdekatpasangan dan anak-anak Anda. kata Stosny.

Adapun ciri utama yang dia amati pada pasien dengan election stress disorder ini adalah permusuhan, kebencian, dan merendahkan norma. Berbagai argument yang merendahkan norma pun bisa menyebabkan perdebatan di media sosial dan memperbesar kans terkena election stress disorder tersebut.

Di sisi lain, para peneliti dari North Carolina State University, Brittany K. Johnson dan Shevaun D. Neupert dalam riset mereka yang dipublikasikan di jurnal Psychological Reports menemukan bahwa sekadar mengantisipasi stress terkait dengan pemilu dan seluk beluknya malah dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan fisik.

Peserta penelitian melaporkan kesehatan fisik yang lebih buruk pada hari-hari ketika mereka juga melaporkan punya tingkat antisipatif stres yang tinggi. Artinya, mereka diperkirakan akan mengalami stres terkait pemilu dalam 24 jam ke depan, kata salah seorang peneliti, Shevaun D. Neupert, seperti dikutip dari Science Daily.

Dengan kata lain, sambungnya, sekadar mengantisipasi kemungkinan stress saja sudah cukup untuk membuat mereka merasa lebih buruk dari yang sebelumnya.

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Untuk mengatasi hal tersebut, ujar Neupert, maka diperlukan analisis masalah. Dalam hal ini adalah ketika masyarakat berpikir kritis tentang mengapa mereka percaya akan mengalami tekanan terkait pemilu dalam 24 jam ke depan.

Misalnya, jika mereka berpikir akan berdebat mengenai pemilu dengan seorang kenalan dalam 24 jam ke depan, mereka mungkin memikirkan mengapa akan berdebat atau tentang argumen mereka. Pada dasarnya, analisis masalah adalah tentang terlibat secara mental, dengan masalah apa pun yang mereka antisipasi, jelasnya.

Ketika peserta pelatihan mengantisipasi stress, jelasnya, namun di sisi lain juga aktif terlibat dalam analisis masalah, peserta melaporkan taka da penurunan kesehatan fisik.

Analisis masalah ini menurut Neupert bisa membantu orang memikirkan cara untuk menghindari perdebatan yang mereka antisipasi atau bahkan membantu mereka memikirkan cara untuk membuat perdebatan menjadi tidak terlalu panas.

Dikutip dari Head Space, Senin (5/2/2024) untuk mengatasi election stress disorder ini American Psychological Association menyarankan agar masyarakat yang mengalami bisa membatasi konsumsi media serta mengambil jeda untuk tidak membuka media sosial, dan melakukan sesuatu yang disukai.

Sedangkan, menurut psikolog klinis di Harvard Medical School, Ellen Slawsby, untuk mengatasi election stress disorder, maka bisa melakukan respons relaksasi selama 20 menit setiap harinya berupa mediasi, olah napas atau olahraga.

Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Sementara itu, Stosny menilai, daripada menyalurkan rasa frustasi dan membuat orang lain merasa tidak dihargai, dia menyarankan untuk fokus pada nilai yang lebih dalam seperti kesetaraan, kasih sayang, dan keadilan.

Di sisi lain, dia juga menyarankan untuk selalu fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali ketika beban kehidupan sehari-hari dan politik menjadi sangat besar. Hal lain yang tak kalah penting adalah fokus membuat hidup lebih baik dan bermakna melalui hubungan sosial.

Cobalah untuk tidak terobsesi karena otak manusia tidak berfungsi dengan baik ketika terobsesi pada apa pun, terutama pada hal-hal di luar kendali, tutur Stosny.

Akhirnya, dia menganjurkan masyarakat untuk mengingat siklus pemilu yang cepat berlalu serta tidak melupakan prioritas sebenarnya ketika merasa frustasi dengan situasi dan gejolak politik.

Di akhir hidup Anda, Anda tidak akan menyesal tidak setuju dengan siapa pun yang memenangkan pemilu. Apa yang kamu sesali adalah tidak bersikap penuh kasih dan baik hati seperti yang seharusnya kamu lakukan. Terutama kepada orang-orang yang kamu cintai, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru