Oleh: Suyanto
Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
Surabaya (optika.id) - Jantung kekuatan demokrasi di Indonesia dalam lima belas tahun tahun terakhir ternyata berada pada jalan gelap penggiringan masa. Semula warga pemilih yakin bahwa capres-cawapres pilihannya berada dalam pihak yang menang, namun kenyataannya bisa ditelikung oleh pihak lawan ke jalan gelap yang mematikan, yaitu kekalahan yang telak dan menyakitkan perasaan.
Mengapa dikatakan menyakitkan perasaan? Karena pembunuhan karakter itu dulakukan dengan dingin-dingin saja namun korbannya jutaan manusia yang tergiring dalam lingkup pemilih rasional.
Sedih dan makin menyayat hati jika dikunyah dengan perasaan.
Politik Pencitraan Membungkus Tradisi Demokrasi
Warga bangsa tentu sangat ingat dengan kematangan berdemokrasi Sang Presidennya, Joko Widodo dari awal hingga hari ini. Saat di Sala biarlah warga Sala yang memahami, saat pindah status gubernur biarlah warga DKI Jakarta yang mengkritisi, dan ketika menjadi presiden biarkanlah sepuluh tahun yang menilai Jokowi sebagai warga bangsa yang beruntung menjadi presiden pokok presiden. Dijuluki presiden tak punya ijazah, presiden plonga-plongo, presiden dungu, presiden budheg dan julukan lainnya tak penting pokoknya presiden.
Jokowi bergerak dari titik Nol dengan cara blusukan mencari simpati massa, baju putih kumal, sering bilang saya tak punya apa-apa, orangtua saya ini wong mlarat tidak seperti Pak Prabowo yang punya 300.000 hektar tanah.
Saya hanya punya tekat dan keberanian untuk belajar menjadi pemimpin sebuah negeri. Bulan demi bulan, tahun demi tahun Jokowi pun mampu mengejar Prabowo. Bahkan anak-anak dan menantunya pun sudah bisa koceh miliaran rupiah dengan cara yang tak semua orang paham riwayat awal kepemilikannya. Kini saatnya Jokowi sudah jadi jaya, sudah lupa apa itu blusukan, kemiskinan, dan wilayah gembel lainnya yang mengenaskan. Bahkan sudah tega berkata DOOR kepada rival yang datang dari tubuh bangsa sendiri.
Baca juga: Jokowi Pasang Muka Badak Libas Suara Ganjar-Mahfud di Kandang Banteng
Tentu ini adalah demokrasi kelas unyil yang maunya dihidupi dalam tubuh bangsa sendiri yang amat besar. Dan kekuatan alam adalah keniscayaan yang memang sudah kuat mengakar dalam kearifan lokal, yang dengan tanpa malu-mslu mengiringinya dalam berdemokrasi.
Menuju Indonesia yang Cerdas
Selanjutnya berbicara tentang quick count dan real count adalah dua hal yang berkontradiksi. Quick Count atau perhitungan berdasarkan hasil survei dari lembaga survei dengan maksud mengabui mata rival di ujung pesta demokrasi dan dengan tujuan menggiring massa bahwa kubu merekalah yang beruntung (baca: menang).
Tentu upaya ini tidak gratisan bahkan harus keluar kocek yang tidak kecil, lebih dari itu harus berani membeberkan perilaku aib di mata publik. Quick count di Televisi akan berimplikaai dalam menggiring opini publik bahwa pihak inilah yang mendominasi kemenangan paripurna. Padahal ada langkah yang lebih valid dalam penghitungan matematik yaitu real count. Real yang sebenar-benarnya yaitu data di KPU Pusat.
Baca juga: Impian PSI di bawah Naungan Kaesang, Gagal Masuk Senayan?
Real count akan menjadi langkah pamungkas yang terhormat, tetapi menjadi konyol lagi di mata publik jika KPU tak lagi netral dan mengumumkan hasil finishing perhitungan atau kemenangan pada dinihari ketika para kontestan dan warga bangsa yang sedang menanti-nanti sedang tertidur pulas.
Inilah barangkali lubang hitam kebudayaan bangsa yang harus dikubur sedalam-dalamnya karena sudah makin mentradisi setiap pesta lima tahunan. Sebagai negara dengan jumlah penganut muslim yang besar, mari kita kembali ke jalan yang benar agar bangsa ini selalu dijauhkan dari segala bencana dan segera menjadi bangsa yang cerdas secara totalitas.
*) Esais dan pengarang prosa. Ketua Forum Banyuwangi untuk Kebudayaan (ForBuK) Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) cabang Banyuwangi. Dan Staf ahli Dewan Pendidikan Kabupaten Banyuwangi itu kini tinggal di Gentengkulon sebagai guru sastra di SMPN1
Editor : Pahlevi