Surabaya (optika.id) - Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar sebut MK akan sulit mengabulkan permohonan sengketa paslon 01 dan 03 dalam sidang Gugatan Pilpres 2024. Zainal aktivis Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia itu juga menyebut, Presiden lebih banyak melakukan intervensi dan kemudian menteri mengikuti di belakang itu.
"Konfigurasi Hakim MK sampai saat ini tidak terlalu menarik, Hakim MK sangat jarang, baik PHPU maupun pengujian UU. Sangat jarang sebenarnya putusan MK itu lahir dari posisi hukum semata, sangat jarang. Jadi Hakim MK ada tiga jenis, satu Hakim MK yang sepenuhnya pembaharu, sebelah kanannya adalah Hakim yang benar-benar politis dan di tengahnya ada Hakim yang pragmatis," kata Zainal kepada Optika.id, Minggu, (31/3/2024).
Baca juga: Johanes Herlijanto Pertanyakan Kapasitas Prabowo Berkunjung ke China
Kemampuan MK, terutama MK yang pragmatis pasti akan dipengaruhi oleh banyak hal sehingga akan mempengaruhi apa saja yang menjadi putusan. Putusan menjadi sebaliknya, di tengah bisa dimenangkan dari idealis, putusannya akan berkebalikan.
"Sangat mustahil MK untuk menurunkan derajat keidealannya, dalam pemahaman saya, di MK itu dinding juga bertelinga, banyak putusan MK itu mencari titik tengah. Misalnya KPK, akhirnya menjadi eksekutif dan ada kemenangan di antaranya. Cipta kerja ada kemampuan Hakim baik ini mempengaruhi pragmatis misalnya dengan menggunakan kata-kata kondisional," terangnya.
Karena Hakim baik main di tengah, akhirnya mau mengatakan dan mengajak yang tengah ikut bergabung. Zainal mengira, kesulitan untuk highcall diputus oleh MK, apalagi oleh Hakim yang mencoba mencari garis tengah. Hal yang dimaksud adalah permohonan paslon 01 dan 03.
Baca juga: Bambang Cipto: Pemilu dan Campur Tangan Asing
"Kalau MK ingin menolak pencalonan Gibran, harusnya merevisi putusan 90, bukan dengan membatalkan pencalonan diujung ini. Karena akan beresiko, kalau dari awal, banyak permohonan itu, beberapa teman mahasiswa melakukan permohonan termasuk saya. Kalau MK mau menerima pembatalan Gibran, bahkan menolkan suaranya. Saya kira tidak dilakukan di pencoblosan, sesaat setelah putusan 90 dibacakan, karena komposisi Hakim nyaris sama," tegas dia.
Perubahannya komposisi MK hanya masuk dan tidak mengubah konstelasi, karena bagian dari kelompok lama. Kelompok pragmatis dan politis, sehingga tidak banyak mengubah, misalnya, Hakim seperti Arsul Sani itu ditolak keluar. Terlepas bicara konsistensi persoalan etik, Arsul Sani menjadi pembaharu.
"Mau konsisten soal etik, Anwar Usman, Arsul harusnya ditarik keluar, karena PPP bersatu dengan 03 itu manakala dia masih menjadi politisi PPP, pada saat itu. Dilantiknya baru Januari, saya tidak ingin dan menawarkan pragmatisme, tapi sedang menawarkan realistis. Nyaris sebenarnya kalau kita mau bilang, tapi apakah ada kemungkinan, bisa jadi ada. Saya kira tidak, MK tidak akan menolak sepenuhnya, kelompok baik di MK akan mencoba mencari titik tengah," tuturnya.
Baca juga: Peneliti Ilmu Hukum Tegaskan Prabowo Pernah Bicara Tak Mau Terlalu Dekat dengan China
Kelompok MK yang baik, mencoba menarik MK pragmatis untuk ikut mereka dan bisa mengurangi idealitas. Membatalkan akan sulit, tapi apakah ada yang diulang beberapa kali, Zainal menegaskan itu bisa jadi diulang. Kalau dulu kasus Pilkada, itu ada pengurangan satu Kabupaten, MK tidak akan membuang, MK akan mengulang harusnya, di Papua Pegunungan.
"Mungkin yang harus dipersiapkan 01 dan 03, mencoba mencari titik tengah, misalnya dikejar masuk ke putaran kedua, tidak sekedar mengalahkan Prabowo lalu kemudian dihitung siapa yang menang, bagaimana membuktikan masuk ke putaran kedua, selisih sekitar, menurunkan suara Pak Prabowo sekitar 8,5 persen. Termasuk kalau Bansos ditengarai bisa mempengaruhi," pungkas dia.
Editor : Pahlevi