Optika.id - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menegaskan memiliki komitmen menciptakan kampus bebas pelecehan seksual.
"Kemendikbud-Ristek tidak menoleransi kekerasan di perguruan tinggi, terutama kekerasan seksual," ucap Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Nizam dalam keterangannya, Minggu (7/11/2021).
Baca juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
Ia mengungkapkan, akan menjatuhi sanksi terberat yaitu pemberhentian jika terbukti terjadi pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.
Sebelumnya, Viral Sebuah video peangakuan seorang Mahasiswa Universitas Riau (Unri) yang mengaku telah mengalami tindak pelecehan dari seorang dekan berinisial SH, Kamis (4/11/2021).
Nizam menerangkan Kemendikbud telah mengeluarkan Permen Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satu hal yang dibahas dalam Permendikbud-Ristek tersebut adalah perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Pasal 5 Permendikbud No. 30 Tahun 2021 menegaskan, kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Baca juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
Kenali bentuk kekerasan seksual berdasarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 pasal 5 yaitu:
- Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban.
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban.
- Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban.
- Menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman.
- Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban.
- Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
- Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
- Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
- Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi.
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban.
- Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.
- Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
- Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
- Mempraktekkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual.
- Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi.
- Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
- Memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi.
- Memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil.
- Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja.
- Melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Jika seseorang berdalih meliki persetujuan korban pada bentuk-bentuk kekerasan seksual, persetujuan itu tidak sah bila korban memiliki kondisi berikut:
- Memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
- Mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya.
- Mengalami kondisi dibawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba.
- Mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur.
- Memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan.
- Mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility).
- Mengalami kondisi terguncang.
Reporter: Jeni Maulidina
Baca juga: FSGI Koreksi Visi Misi Capres Terkait Pendidikan
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi