Optika.id - Terlihat ramai sekali jalanan Malioboro saat Optika berkunjung ke sana, Minggu (12/12/2021), namun ada sesuatu yang janggal. Terlihat seorang nenek yang sudah berusia 70 tahun masih terlihat rajin bekerja. Nenek itu bernama Maemunah.
Tatapan nanar Maemunah seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) malioboro yang berjualan makanan dan minuman membuat optika.id merasa trenyuh. Maemunah mengaku sudah berjualan sejak tahun 1990an. Dia lupa sejak kapan ia mulai berjualan di malioboro. Usia senja-lah yang membuat dia lupa tepatnya tahun berapa dia mulai berjualan. Di tangannya yang sudah berkeriput diraciklah kopi hitam yang disuguhkan pada seorang pemuda berambut gondrong, ketika Optika mencoba mewawancarainya, Minggu (12/12/2021) malam.
Baca Juga: Pengusaha Toko Malioboro Sepakat Percantik Jalan Malioboro
Dia malu tak tahu ke mana harus mengadu. Sebab di dalam hatinya terdalam, dipastikan dia menolak. Terkait rencana relokasi PKL Malioboro oleh Pemerintah Provinsi DIY. Namun siapakah Maemunah, dia hanya seorang PKL yang tak sanggup melawan government policy. Jika memang PKL Malioboro resmi dipindah di bulan Januari tahun 2022. Dia hanya bisa menurut saja. Lantaran tak punya kuasa melawan. Nenek dua orang cucu ini terlihat cukup telaten melayani pembeli yang terdiri dari berbagai macam usia. "Kita ini sampun kena pandemi kolo wingi mas, sakniki malah mau dipindah, bagai jatuh tertimpa tembok mas, duh gusti nyuwun pangapurane," ujarnya penuh iba.
"Saya ini omzet kadang ya nggak sampai 100 ribu rupiah mas kalau sepi, ini berhubung lagi ramai karena mau natal ya bisa sampai 200 ribuan. Kalau dulu waktu pandemi dapat 100 ribu aja sudah sujud syukur mas," jelasnya sembari tangannya menengadah ke atas memohon rezeki dari Allah SWT.
Nenek yang hidup menjanda akibat ditinggal meninggal oleh suaminya sejak 10 tahun yang lalu ini harus terus bekerja agar tetap bisa bertahan hidup. "Zaman sekarang nyari uang susah mas, apalagi zaman pandemi ini bagaikan nyari jarum dalam jerami. Uangel," tuturnya.
Dia mengaku bingung ketika harus dihadapkan dengan relokasi. Karena desas-desusnya tempat itu tidak layak bagi pedagang. "Tempatnya itu kecil mas, trus sekarang emang mau pembeli naik ke lantai 3 untuk hanya membeli segelas minuman? Coba sampeyan pikirkan itu," tuturnya sembari memberi pertanyaan ke Optika.
"Pastinya mereka semua itu (PKL) menolak rencana relokasi itu mas," tukasnya.
Hal senada dikatakan oleh Rudi seorang pedagang jus apukat. Menurutnya para pedagang yang berjumlah sekitar 2000an itu sudah pasti menolak. Tetapi lantaran mereka tidak memiliki daya dan upaya mereka pasrah. Dan tidak berani speak up. "Ya gimana lagi mas orang jogja kalau sama sultan yang nurut. Sultan (Sri Sultan Hamengku Buwono X) bilang a ya nurut bilang b ya pasti nurut," ujarnya sembari memblender apukat yang disuguhkan kepada pembelinya yang masih remaja. "Kalau misalkan kita nggak mau ya pasti kita yang diusir dari sini (Jogja, red)," ujarnya.
Dia menduga ada kedok investasi dibalik proyek relokasi PKL Malioboro. Salah satunya proyek dari UNESCO untuk pembersihan (relokasi) Malioboro. Menurutnya diduga salah satu PIC dari UNESCO adalah orang dalam keraton Yogyakarta. "Ya saya duga ada hubungannya dengan orang dalam keraton mas, kita ini wong cilik mas, katanya dulu sultan mau mendukung PKL Malioboro sekarang kok malah mau direlokasi di tempat yang sepi dan terus kurang layak juga. Icon Malioboro hilang, jadi ya PKL ini ikonik sini mas," tuturnya.
"Ini kepentingan dalam keraton mas, dulu alun-alun katanya punya rakyat sekarang malah dipagari, isunya dulu katanya mobilnya orang dalam beret kena PKL sekarang akhirnya para PKL ditertibkan di sana. Sekarang di sini PKL juga mau ditertibkan. Padahal bisa dilihat kalau Selasa Wage (penutupan PKL sebagai peringatan hari weton Sultan) itu sepi di sini. Nah kayak gitu lah ntar mas suasananya kalau jadi dipindah," ucapnya memberikan bayangan jika PKL resmi direlokasi.
Baca Juga: Pendorong Gerobak PKL Malioboro Adukan Nasib ke Pemkot Yogyakarta
Rudi menegaskan sewaktu pandemi dulu ketika Malioboro ditutup lantaran kebijakan PPKM, para PKL semakin menjerit. Lantaran sudah tak memiliki sepeser pun uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Saya sempat mencoba peruntungan dengan berjualan nasi pecel mas, tapi ya gitu sepi puol," tandasnya.
Akhirnya, Rudi berjualan jus apukat lagi di Malioboro ketika PPKM sudah dicabut. Rudi menuturkan tergabung dalam paguyuban PKL Tri Darma. Dia menuturkan per hari-nya membayar sebesar Rp 75 ribu. Ditanya berapa harga lapaknya? Dia menjawab bosnya membeli sekitar Rp 250 juta, yang dari harga awalnya Rp 300 juta. Akibat pandemi Covid-19 harganya pun didiskon.
Ditanya berapa omzet per hari? "Kalau sekarang sudah lumayan kadang sehari dapat 500 ribu rupiah, karena sekarang sudah mulai normal. Masak kita yang sudah mulai bangkit mau dibunuh lagi mas, ya kita kayak dibunuh pelan-pelan mas, kalau dipindah itu yang jelas para wisatawan kesulitan kalau mau beli makan dan minum, emang njenengan mau beli minum harus jalan dulu ke sana," ujarnya sembari menunjuk arah utara ke sebelah Hotel Grand Inna, tempat relokasi untuk PKL kuliner.
[caption id="attachment_10285" align="alignnone" width="169"] Lahan untuk tempat relokasi PKL. (Optika)[/caption]
Baca Juga: Satpol PP Ultimatum PKL Malioboro, Terakhir Bereskan Lapak 8 Februari 2022
Rudi berharap ada keajaiban yang membuat Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Yogyakarta membatalkan relokasi PKL Malioboro. "Ya semoga Pemerintah terbuka hatinya melihat kami rakyat jelata yang hanya bisa berjualan di pinggir jalan Malioboro ini untuk mencari sesuap nasi. Janganlah malah direlokasi ke tempat yang menurut saya kurang layak. Saya mohon Pemerintah memperhatikan kami kaum proletar. Saya mohon jangan relokasi kami," pungkasnya memohon seraya mengatupkan kedua tangannya.
Reporter: Amrizal dan Angga
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi