Secara Teoritis Presidential Threshold Tidak Perlu, Kepentingan Elite Penguasa Semata

author Aribowo

- Pewarta

Minggu, 26 Des 2021 19:08 WIB

Secara Teoritis Presidential Threshold Tidak Perlu, Kepentingan Elite Penguasa Semata

i

Secara Teoritis Presidential Treshold Tidak Perlu, Kepentingan Elite Penguasa Semata

Optika.id. Surabaya. Presidential threshold (PT) menjadi perbincangan kembali. PT dianggap salah satu faktor kunci memenangkan presiden dalam pilpres (pemilu presiden) 2024. Menurut Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017 tentang Pemilu) ditetapkan PT untuk parpol mengusung capres (calon presiden) sebesar 20% kursi atau 25% suara.

Bagi penguasa dan partai politik (parpol) yang memegang kuasa besaran itu sudah fixed. Lebih dari itu PT angka 20% dianggap sudah sesuai aspirasi masyarakat. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan hal tersebut untuk membangun pemerintahan yang efektif. 

Baca Juga: Mahfud Lepas Jabatan, TKN Ingin Prabowo Tetap Jadi Menhan

"Itulah 20% syarat minimum bagi efektivitas kerja pemerintahan. Itu sistem yang ingin kita bangun, berpolitik itu dengan teori-teori politik, juga belajar dari praktik-praktik tentang tata pemerintahan negara," kata Hasto kepada wartawan, di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat (Jakpus), Rabu (22/12/2021).

"Mari kita belajar dari pengalaman Pak Jokowi sendiri, juga pengalaman Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ketika awal menjabat. Itu kita melihat bagaimana sistem presidensial itu memerlukan basis dukungan dari parlemen," ujarnya. Lebih lanjut Hasto menerangkan, Jokowi terpilih dengan suara yang sangat kuat dari rakyat. Tapi dukungan parlemen hanya 20%, akibatnya memerlukan waktu 1,5 tahun untuk konsolidasi," sambung dia

Setali tiga uang pendapat Puan Maharani, Ketua DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), UU No 7/2017 tentang Pemilu tidak akan dirubah, katanya kepada wartawan di Gedung DPR. Artinya besaran PT tidak akan dirubah atau diganti. Parpol koalisi rezim Joko Widodo (Jokowi) berpendapat sama tentang PT tersebut. Mereka adalah  Golkar, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Gerindra, dan NasDem menolak dihapus 20% PT. 

Berbeda dan Menggugat ke MK

Suara berda muncul dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka minta angka PT diturunkan menjadi 10 %. Sementara itu PAN (Partai Amanat Nasional) dan Partai Demokrat (PD) mendukung dihapus persyaratan 20% PT. Mereka ingin PT 0%.

Anggota DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia) asal Provinsi Banten, Habib Ali Alwi, mengajak para kiai dan habaib, Forum Majelis Umat dan Pemuda se-Banten untuk menolak PT 20%. Ia juga mengajak para tokoh di Banten untuk bersama-sama mendorong 0%, sesuai amanat Konstitusi.

Ferry J. Yuliantono, salah seorang pimpinan Partai Gerindra, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dan Refly Harun menggugat PT 20% ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Gugatan atau permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu pertama kali dilayangkan Ferry Yuliantono, sebagai individu. Didampingi ahli hukum tata negara Refly Harun yang bertindak sebagai kuasa hukumnya, Ferry mendaftarkan gugatannya terkait PT yang diatur dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/12/2021). 

Gugatan ke MK juga dilakukan oleh 2 anggota DPD RI,  Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung. Mereka didampingi oleh Refly Harun selaku kuasa hukumnya. Pendaftaran gugatan ini dilakukan pada Jumat (10/12/2021).

Sementara itu Ketua DPD, La Nyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan, potensi konflik antar kelompok masyarakat terjadi sejak kontestasi pemilihan presiden dengan ambang batas tinggi.

"Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas," ungkapnya. Hal itu disampaikan LaNyalla saat membuka Rapat Kerja Nasional DPP Pemuda Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) secara virtual dari Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Jumat (27/11).

Dua kali pemilihan presiden, Indonesia hanya mampu menghasilkan dua pasang calon yang head to head. Menurutnya, hal ini menimbulkan polarisasi masyarakat yang cukup tajam.

Dua Sistem Yang Berbeda dan Berlawanan

Menurut Muhammad Arif Afandi, peneliti PuSDeHAm, di Indonesia memberlakukan 2 sistem pemilu berbeda. Bahkan berlawanan, urai peneliti pemilu kepada Optika.id, 26/21/2021 lewat WhatsApp.

Pileg (pemilu legislatif) pakai proporsional sedangkan pilpres (pemilu presiden) pakai distrik. Proporsional pasti melahirkan banyak parpol di parlemen. Sementara distrik menghasilkan sedikit kursi atau kandidat, urai dosen Universitas Negeri Surabaya itu.

Dua sistem berlawanan itu menyebabkan partai politik (parpol) presiden pasti minoritas di Parlemen. Coba lihat komposisi parpol presiden sejak era reformasi, katanya.  

Baca Juga: Gerakan “Asal Bukan Prabowo”: Bukan Fenomena Baru, Berdampak Pada Elektoral?

Afandi mencotohkan saat Presiden Abdurahman Wahid (1999-2001) kursi parpolnya, PKB, di DPR sebanyak 12,6 % sedangkan Presiden Megawati (2001-2004) kursi PDIP 33,7 %, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) 2004-2009 kursi Partai Demokrat (PD) 7,5%, dan SBY 2009-2014 sebanyak 20,8%. Sementara itu Joko Widodo 2014-2019 kursi PDIP sebanyak 18, 98%, dan periode 2019-2024 kursi PDIP sebanyak 19,33%.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jadi PT tidak ada kaitannya dengan stabilitas pemerintahan atau tidak. Yang berkait dengan stabilitas pemerintahan, dalam perspektif pemilu, adalah pilihan sistem pemilunya. Bukan PTnya, urai peneliti perilaku memilih itu.

Two Round System

Berbagai ilmuwan tentang partai politik dan perilaku memilih, mulai dari Duverger, Shugart, Dogan, Rabkin, dan Matland danStudlar) meyakini sistem pemilihan berkorelasi dengan perwakilan politik dan pola pemerintahan. Mereka mengakui sistem distrik dalam pileg cenderung menempatkan parpol kecil 

 Kurang mendapat tempat di parlemen sehingga mereka terdorong untuk berkoalisi.

Sebaliknya sistem proporsional cenderung memberi peluang kepada berbagai kelompok minoritas, utamanya parpol kecil. Karena itu sistem proporsional selalu melahirkan banyak parpol di dalam parlemen.

Sistem pilpres Indonesia menggunakan sistem distrik dengan cara two round system (TRS). Pilpres diselenggarakan untuk putaran kedua jika pada putaran 1 tidak ada kandidat yang mendapat suara 50% lebih.

Kelebihan sistem ini adalah memaksa perbedaan, konflik etnis, agama, kepentingan, dan sebagainya yang muncul saat putaran pertama akan terpaksa atau bergerak untuk berkoalisi satu sama lainnya pada putaran kedua. Karena itu teknis TRS sebenarnya bisa menetralisir berbagai kepentingan dan perbedaan politik di masyarakat tersebut.

Masyarakat dan parpol diberikan wadah untuk mengusung kandidat presiden dan wakil presiden secara leluasa sehingga keberagaman masyarakat terwadahi secara politis. Pada saat pemilu presiden tidak ada yang mencapai suara mayoritas (50% lebih) maka diselenggarakan putaran kedua (TRS). Makna dari teori ini adalah dalam teori TRS sebenarnya tidak diperlukan PT. karena itu sebenarnya aneh jika dalam TRS ada angka PT, apalagi angka itu tinggi sekali.

Baca Juga: Prabowo Sindir Anies dan Ganjar Soal Pertahanan: Jangan Menyesatkan, Memprovokasi, dan Menghasut

Adanya PT, apalagi dengan angka sangat tinggi, justru memperuncing konflik politik di dalam masyarakat. Aspirasi mereka akan dihilangkan tatkala tidak ada kandidat presiden yang mereka inginkan. Apalagi kalau kandidat presiden hanya 2 pasangan yang semuanya itu muncul dari kepentingan elite penguasa.

Konflik ideologi dan politik yang sangat kuat antara kelompok Islam dan nasionalismesejak 2014 hingga saat ini akibat dari kandidat 2 pasangan. Jika 2024 terulang kembali hanya ada 2 kandidat, apalagi mereka adalah kandidat para penguasa maka konflik ideologis dan politik bangsa Indonesia terus berlanjut. Justru kekuasaan mengukuhkan konflik ideologis dan politik permanen.

Angka PT tidak berkait dengan stabilitas rezim dalam berelasi dengan parlemen. Sebab pileg menggunakan sistem proporsional yang melahirkan banyak parpol sementara pilpres menggunakan sistem distrik yang melahirkan seorang presiden dan wakil presiden. Presiden selalu mempunyai parpol minoritas di parlemen. Karena itu menaikkan angka PT tidak otomatis memperkuat power presiden di parlemen.

Justru menaikkan angka PT cenderung mengukuhkan dan bahkan memperluas konflik ideologi, politik, dan pembelahan masyarakat. sebenarnya Indonesia sudah cukup bagus mempunyai cara TRS dalam pilpres. Karena itu secara teoritik pilpres TRS tidak memerlukan angka PT tinggi.  

Tulisan: Aribowo

Editor: Amrizal Ananda Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU