Gerakan “Asal Bukan Prabowo”: Bukan Fenomena Baru, Berdampak Pada Elektoral?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Kamis, 25 Jan 2024 17:02 WIB

Gerakan “Asal Bukan Prabowo”: Bukan Fenomena Baru, Berdampak Pada Elektoral?

Jakarta (optika.id) - Belakangan ini, gerakan asal bukan Prabowo atau asal bukan 02 yang merujuk kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menggema di platform X (Twitter). Seruan ini pertama kali menggema pada Rabu (27/12/2023) kemudian menjadi trending topic atau topik populer pada Kamis (28/12/2023) lalu.

"Asalkan bukan Prabowo! Silakan RT (retweet) yang setuju," cuit akun @SoeTjenMarching, penulis novel Mati Bertahun yang Lalu.

Baca Juga: Presiden Prabowo akan Hadiri Tanwir dan Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang

Sebenarnya, gerakan asal bukan Prabowo ini bukanlah fenomena baru. pasalnya, gerakan serupa pernah muncul pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 silam yang menyasar petahana kala itu yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Gerakan itu bernama Abah yang merupakan akronim dari asal bukan Ahok.

Memang Seperti Apa Dampaknya?

Menanggapi gerakan asal bukan tersebut, Direktur Eksekutif Demos Institute, Ade Reza Hariyadi memaklumi apabila gerakan itu muncul kembali dalam arena kontestasi politik di Indonesia. Dia menilai, baik kubu Anies maupun Ganjar sama-sama mempunyai kepentingan pragmatis yang sama dengan wacana tersebut yakni tidak didukung kekuasaan yang efektif atau Jokowi pada Pilpres 2024 serta bisa dimanfaatkan untuk putaran kedua.

"Sejauh mana efektivitasnya? Akan kita uji karena setiap periode pilpres, misalnya isu tentang pelanggaran HAM oleh Prabowo, selalu diproduksi dan tidak punya efek elektoral secara signifikan. Daya dukung kekuasaan, saya pikir, lebih realistis [dimainkan] daripada mereproduksi isu-isu HAM yang menjadi isu klasik," ucapnya kepada Optika.id, Kamis (25/1/2024).

Sementara itu, sambungnya, terkait daya dukung kekuasaan dia menilai yang all out menggunakannya adalah kubu Anies daripada kubu Ganjar. Pasalnya, apabila Ganjar menggunakan isu-isu tersebut, maka Ganjar seperti menepuk air didulang, terpercik muka sendiri karena kubu Ganjar merupakan penguasa yakni PDIP.

Di sisi lain, Reza menyebut jika gerakan ini takkan bisa seefektif Pilkada 2017 di tataran elite lantaran konfigurasi partai politik pengusung Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud tidak mempunyai ikatan ideology yang kuat. Sehingga, sangat mungkin dukungan parpol pengusung yang kalah dalam putaran pertama berdiaspora.

"Misalnya, Anies kalah, tidak mungkin parpol pengusung bermigrasi ke kubu Ganjar karena karakteristik partai-partai pengusung Anies cukup plural, tidak dalam frame ideologis sama. Bisa jadi PKS lebih nyaman bergabung dengan Prabowo daripada PDIP yang mengusung Ganjar. Bisa juga NasDem begitu. Jadi, tidak bisa dipastikan terjadi migrasi yang utuh. Kedua, adanya kesenjangan antara orientasi pemilih dalam pilpres dengan pileg (pemilihan legislatif), jelasnya.

Berbeda dengan tataran elite, Reza menyebut jika di tingkat akar rumput (grassroots) bisa saja optimal mengingat terdapat 2 sentimen yang mendasari alasan para pemilih menjagokan Anies atau Ganjar pada Pilpres 2024.

Pertama adalah menentang dinasti politik Jokowi yang kebablasan, dan kedua, faktor agama yang merupakan residu dari pemilu sebelumnya, tahun 2014 dan 2019.

Baca Juga: Kado Awal Tahun: UMP Naik 6,5 Persen, Kesejahteraan Guru Meningkat Signifikan di 2025

Masyarakat yang memilih kandidat berdasarkan sentimen agama pada pilpres sebelumnya mendukung Prabowo, tetapi kini ada di kubu Anies. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Untuk mengoptimalkan gerakan asal bukan Prabowo ini, Reza menyarankan baik kubu Anies maupun Ganjar harus menggunakan pendekatan berbeda sehingga bisa mendapatkan limpahan suara signidikan pada putaran kedua. Misalnya, Ganjar mesti memiliki kiat efektif dalam merangkul kelompok Islam, khususnya mereka yang memilih karena preferensi agama.

"Ini menjadi tugas bagi Ganjar untuk bisa meraih simpati dari kelompok yang memakai preferensi agama jika Anies tidak lolos di putaran pertama. Mereka harus bekerja keras untuk itu. PPP (Partai Persatuan Pembangunan) bisa menjembatani ini karena merupakan partai Islam tradisional," kata Reza.

Selain itu, kontradiksi antara kubu Ganjar dan kubu penguasa juga harus dipertegas sehingga tidak ada kemungkinan rekonsiliasi politik mengingat sampai saat ini sikap PDIP masih tegak lurus bersama Jokowi.

Sedangkan, anak Jokowi sudah resmi menjadi cawapres Prabowo dan hal tersebut menimbulkan ambiguitas. Dengan kata lain, ada kemungkinan akan rekonsiliasi dnegan Prabowo.

Baca Juga: Rezim Gemoy Tapi Duit Cupet

"Kecuali ada kontradiksi dengan melemahnya dukungan politik PDIP terhadap pemerintahan Jokowi semakin terbuka. Jika ini terjadi, maka dukungan untuk meraih pemilih oleh Ganjar menguat," sambungnya.

Menurut Reza, baik timses Anies maupun Ganjar harus bisa merasionalisasikan alasan tidak memilih Prabowo apabila ingin memainkan isu ini. Apabila tidak, maka bisa menjadi boomerang bagi keduanya lantaran dianggap publik masih belum dewasa dalam berkontestasi politik. Apalagi, pada Pemilu 2024 ini didominasi oleh kelompok milenial yang lahir tahun 1980-1996 dan Gen Z yang lahir tahun 1997-2012. Adapun jumlah pemilih muda berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencapai 115,622 juta dari 204,8 juta pemilih.

Adapun karakteristik pemilih dari generasi muda, milenial dan Gen Z ini adalah rasional, kritis, dan cermat terhadap perkembangan politik dengan sangat intens serta well-informed. Biasanya, mereka cenderung menunggu informasi yang semakin kaya dan lengkap sehingga mengambil keputusan di saat-saat akhir. Dan Reza mengamati hal tersebut tidak terjadi di Pemilu 2014 dan 2019 lalu. Jadi, kalangan pemilih ini pada Pemilu 2024 masih menunggu di detik-detik terakhir.

"Dengan demikian, situasi saat ini masih dinamis dan semua isu punya kesempatan yang sama untuk memengaruhi publik sebagai pemilih. Jadi, angka-angka statistik yang dihasilkan survei sebenarnya masih sangat volatile.," tutupnya.

 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU