[caption id="attachment_12269" align="alignnone" width="172"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I (Dosen Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya)[/caption]
Launching dan bedah buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi: Studi Kasus Muhammadiyah dan NU di Indonesia Pasca-Suharto karya Pramono Ubaid Tanthowi ini diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB), 17 Januari 2022 via daring.
Baca Juga: Makin Kuat, PBNU Desak PKB Tentang Peran Ulama di Partai
Dalam kesempatan ini hadir Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu'ti yang membuka acara ini. Selain itu beberapa narasumber, di antaranya, Zuhairi Misrawi (Dubes RI untuk Republik Tunisia), Philips J. Vermonte (Dekan Fakultas Ilmu Sosial UIII), Zacky K. Umam (Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center UI), dan Sarah Monica sebagai moderator.
Abdul Muti dalam sambutannya mengapresiasi atas terbitnya buku karya Pramono ini. Menurutnya, peran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU tidak bisa dipandang sebelah mata dalam rangka mendorong demokratisasi di Indonesia.
Banyak tulisan dari para ilmuan Barat yang mengatakan bahwa Islam itu incompatible to democracy. Tapi pada konteks Indonesia, justru proponent dan mungkin bisa kita sebut tulang punggung demokrasi dan demokratisasi itu adalah ormas-ormas Islam, dua di antaranya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, bebernya.
Sementara itu, Zuhairi Misrawi menyebut kehadiran NU dan Muhammadiyah yang sudah ada sebelum Indonesia ada telah memberikan corak atau langgam tersendiri terkait ekspresi keberislaman negeri ini.
Dubes RI untuk Republik Tunisia ini menilai bahwa buku Pramono ini penting sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus menjaga, mewarnai, dan menjadikan NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan utama untuk membangun dan mengawal negeri ini.
Zuhairi juga meminta izin kepada Pramono U. Tanthowi sebagai penulis buku untuk menerbitkan bukunya tersebut ke dalam bahasa Arab.
Di Mesir itu ada Al-Azhar. Al-Azhar itu kekuatan besar yang sangat luar biasa bahkan partai politik sebesar Ikhwanul Muslimin itu tidak bisa menggantikan kekuatan masyarakat sipil seperti Al-Azhar. Saya kira Muhammadiyah dan NU itu kekuatan yang sangat besar, bahkan partai politik mana pun tidak mampu melampaui kekuatan dari NU dan Muhammadiyah ini.
Maka beruntunglah negara-negara yang mempunyai kekuatan masyarakat sipil itu, karena dia bisa menjadi solusi alternatif ketika partai politik itu mengalami kebuntuan, imbuhnya.
Baca Juga: Pengurus Kiai PBNU Meminta PKB Diperbaiki, Dulu Diancam Carok Saat Dirikan Partai
Pandangan lainnya disampaikan oleh Zacky Khairul Umam yang mengungkapkan perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dengan ormas-ormas atau sosial enklave lainnya. Perbedaan tersebut, kata Zacky, terletak pada keaktifan NU dan Muhammadiyah dalam menyuarakan pendidikan politik, pendidikan kewargaan, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya kira projek untuk mengabadikan pemikiran dan juga aksi dari dua tubuh besar organisasi Islam di Indonesia, dalam hal ini Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama harus terus diwujudkan. JIB ini memiliki peran yang sangat aktif bukan hanya di dalam dunia penerbitan, tapi juga diseminasi intelektual dan juga jaringan yang bersifat nyata sekaligus menyambungkan antara NU dan Muhammadiyah, ujarnya.
Senada dengan pembicara sebelumnya, Philips J. Vermonte turut mengapresiasi kehadiran buku ini dengan berbagai catatannya. Dalam pandangan Philips, terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil dari buku ini, terutama terkait hubungan antara masyarakat sipil (Muhammadiyah dan NU) dengan negara.
Saya kira, Muhammadiyah dan NU ini agak unik dalam hubungannya dengan negara. Sepanjang yang saya ikuti terutama mungkin dalam konteks pasca 98, tidak pernah kedua-duanya ini diametral dengan siapa pun yang sedang berkuasa. Kritis iya, tetapi dia tidak pernah menjadi sebuah kekuatan yang berusaha untuk saling menjatuhkan, terang Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini.
Republik ini beruntung, dua organisasi massa paling besar, hubungannya dengan negara walaupun suam-suam kuku atau kritis, tetapi dia tetap menjadi penopang dalam berbagai hal fondasi kenegaraan kita. Dia tidak pernah betul-betul menjadi sebuah komponen yang meruntuhkan, justru dia menjadi menguatkan, sambungnya.
Baca Juga: Sebut Gus Yahya dan Gus Ipul Politisasi PBNU, Cak Imin: Nggak Sopan!
Sebagai penutup, Pramono U. Tanthowi memberikan komentar atau respons terkait buku yang ia tulis. Ia mengatakan bahwa buku ini diadopsi dari Tesis di Departemen Ilmu Politik saat ia menjadi mahasiswa di University of Hawaii.
Lebih lanjut, Komisioner KPU RI ini menjelaskan isi buku tersebut yang mana terjadi perubahan peran masyarakat sipil terutama di akhir masa Orde Baru dan Era Reformasi.
Tidak selamanya menjadi kekuatan oposisi yang itu diperankan lama sekali sejak awal 90-an. Gus Dur mendirikan Fordem lalu Amien Rais menyuarakan suksesi sejak 93, misalnya. Tapi begitu masuk Reformasi, peran-peran organisasi kemasyarakatan sipil Islam itu berubah, paparnya.
Tulisan Tim Resensi, Dr Sholikh dkk
Editor : Pahlevi