Optika.id - Hanya tinggal beberapa hari lagi, para Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro akan segera pindah ke lokasi baru yang diberi nama Teras Malioboro 1 dan 2. Pemerintah Kota Yogyakarta sedang merencanakan skema relokasi para PKL ke lokasi baru.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan proses pemindahan kemungkinan besar dilakukan dengan cara undian. Hal tersebut sesuai dengan usulan para PKL Malioboro.
Baca Juga: Blunder Politik Pernyataan Ade Armando Dianggap Hanya Riak Kecil di PSI?
Semula, kata Heroe, relokasi akan diatur melalui komunitas atau paguyuban PKL Malioboro.
"Tetapi mungkin ada rasa tidak nyaman atau rasa ketidakadilan jika komunitas yang menempatkan. Makanya dilakukan undian untuk tiap pedagang, kata Heroe dalam keterangannya, Jumat (28/1/2022).
Sekitar 1.838 PKL Malioboro akan ditata di dua lokasi penempatan yaitu di Teras Malioboro 1 (eks Bioskop Indra) dan Teras Malioboro 2 (lahan bekas Dinas Pariwisata DIY).
Pedagang yang akan menempati lokasi baru adalah mereka yang sudah masuk dalam data pemerintah daerah dan tergabung dalam komunitas atau paguyuban.
Setelah PKL ditata di lokasi baru, lanjut Heroe, pedestrian di Jalan Malioboro sepenuhnya menjadi hak pejalan kaki sehingga wisatawan akan lebih leluasa menikmati suasana Malioboro. "Kalau dilihat dari lokasi penempatannya, di lapak mana pun tidak akan masalah karena aksesnya baik dan luas, ujar Heroe.
Di Teras Malioboro 2 bahkan disiapkan dua pintu yang akan menjadi akses masuk pengunjung atau wisatawan yaitu dari Jalan Malioboro dan dari Jalan Mataram.
Wisatawan yang datang dari arah utara bisa masuk ke Teras Malioboro 2 untuk belanja oleh-oleh atau suvenir, sedangkan wisatawan dari arah selatan bisa masuk ke Teras Malioboro 1.
Jadi, tetap ada penjual oleh-oleh di Malioboro. Dengan terkumpul di suatu lokasi justru akan memudahkan pembeli untuk berbelanja, katanya.
Nasib Komunitas Pendorong Gerobak Tamat
Sementara itu, nasib komunitas pendorong gerobak yang menggantungkan hidupnya dari para pedagang akan tamat. Setidaknya tercatat 91 anggota yang tergabung dalam Paguyuban Pendorong Gerobak PKL Malioboro. Puluhan tahun mereka mencari sesuap nasi dari hasil menekuni antar-jemput gerobak milik pedagang kelompok Tri Darma dan Paguyuban PKL Malioboro Ahmad Yani (Pemalni).
"Yang paling sepuh sudah 27 tahun, tapi kalau saya baru 10 tahun terakhir ini," kata Kuat selaku Ketua Paguyuban Pendorong Gerobak PKL Malioboro dalam keterangannya, Jumat (28/1/2022).
Kuat berkisah, tiap harinya ia dan rekan-rekan seprofesi disewa jasanya untuk memastikan gerobak para PKL siap pakai. Menyiapkan dari gudang penyimpanan dan mengantar ke lapak kala azan subuh bahkan belum berkumandang dan mengambilnya kembali saat kawasan Malioboro mulai menemukan hiruk pikuknya.
Area jelajah para pendorong gerobak dari kawasan Hotel Grand Inna Malioboro sampai titik Ngejaman. Jarak terjauh antara lapak PKL dan gudang penyimpanan di Taman Yuwono, Sosromenduran sekitar 700 meter. Sekali pulang-pergi dorong satu gerobak berarti 1,4 kilometer ditempuh.
Namun, jarak dan cara kerja itu hanya berlaku untuk tipe gerobak 2 in 1 yang memungkinkan dipakai sekaligus untuk berjualan. Tipe 3 in 1 kurang fleksibel, membutuhkan proses bongkar muat barang karena tak bisa difungsikan sebagai etalase dagang.
Tipe 3 in 1 biasa dipakai PKL yang memiliki keterbatasan lahan, umumnya berlapak mepet pilar bangunan. Karena tak bisa menempatkan gerobaknya otomatis harus memakai rak untuk memajang dagangan.
"Two atau three ini mengacu ke kerjanya kita. Kalau 3 in 1 kita bolak-balik. Berarti kita ngeluarin pagi, sama pedagang dibongkar, di-display. Kita masukin lagi (ke gudang), jam enam maghrib kita siapin lagi gerobak kosong itu (ke lokasi lapak). Jam sembilan malam dikemasin lagi masuk ke gudang," paparnya.
Lebih menguras tenaga memang. Tapi demi upah ekstra mau tak mau Kuat dkk wajib melakoninya. Setiap Rupiah di mata para pendorong sangatlah berharga.
Khusus tipe 2 in 1, para pendorong gerobak mendapat upah Rp30 ribu untuk jasa antar jemput plus bongkar muat barang. Sedangkan 3 in 1 cuma selisih Rp5 ribu lebih mahal. Namun tarif jasa bisa sedikit bervariasi tergantung ukuran gerobak.
"Ada yang model bayar harian, langsung bayar. Ada yang mingguan juga bulanan," imbuh warga asli Sosronenduran yang kini beralamat tinggal di Murangan, Triharjo, Sleman ini.
Pemasukan sebenarnya juga bisa dibilang tak menentu. Karena tidak semua PKL berdagang tiap hari atau hanya di momen-momen tertentu saja. Waktu jelang akhir pekan lumrahnya jadi yang paling sibuk.
Kuat sendiri dipasrahi mengurus 21 gerobak. Terbanyak, ada pendorong yang sampai menyewakan jasanya hingga 60 unit gerobak lebih. Mereka lebih layaknya mandor yang sudah memiliki karyawan sendiri.
Baca Juga: Kunjungi Yogyakarta, Bamusi Surabaya Napak Tilas Perjuangan KH Ahmad Dahlan
"Satu orang biasanya megang 12 gerobak. Tapi kebutuhan ekonomi mendesak ya sampai 21. Saya sampai divonis kena jantung berapa tahun kemarin karena memforsir. Sudah saya kurangi untuk gerobak-gerobak besar. Kerjaan kami ini sampai makan korban, sudah empat meninggal karena kelelahan," bebernya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Profesi yang menurutnya mulai eksis medio 1990an ini terancam punah seiring kebijakan relokasi PKL Malioboro oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta yang sekarang ini mulai bergulir hingga waktu boyongan awal Februari nanti.
Sultan pun melarang aktivitas dagang oleh PKL di sepanjang Jalan Malioboro saat proses relokasi ini nantinya selesai. Bagi para pendorong gerobak, kebijakan ini sama saja dengan mematikan mata pencaharian mereka.
"Banyak teman-teman yang bingung dan stres, termasuk saya. Karena di tempat yang baru (Teras Malioboro 1 dan 2) kan tidak pakai gerobak lagi. Otomatis kita nganggur," kata pria 48 tahun itu.
Langkah audiensi ke DPRD Kota Yogyakarta dan DIY pun telah ditempuh. Intinya, pertama meminta para legislatif menyampaikan permohonan penundaan waktu relokasi kepada Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta sampai setelah Lebaran tahun ini.
"Kita sepaham sama PKL, karena lebaran itu jadi momen buat cari modal pulang kampung. Modal tradisi lebaran itu lah," ucapnya.
Pasalnya, para pendorong beberapa tahun ini juga sudah tertatih-tatih menghadapi imbas pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Jual aset bukan hal baru bagi mereka.
Maklum, 85 persen anggota paguyuban mengandalkan cuan dari para PKL. Sisanya, menyambi tukang batu, tukang las, petani, dan Kuat sendiri membuka jasa servis elektronik.
Kepada Panitia Khusus (Pansus) Relokasi PKL Malioboro DPRD Kota Yogyakarta, para pendorong menyampaikan permintaan kompensasi agar bisa diberdayakan di dua Teras Malioboro sebagai petugas jaga toilet, juru parkir, maupun keamanan. Sebelum akhirnya satu suara memohon jatah lapak mempertimbangkan jangka panjangnya. "Kalau lapak bisa buat anak-cucu kita," tutur Kuat.
Permohonan lapak ini telah disampaikan kala audiensi di DPRD DIY, Rabu (26/1/2022). Tiap-tiap pendorong diminta mengumpulkan fotokopi KTP sebagai bukti kesetiaan dan kekompakan profesi pendorong. Dari 91 anggota, tapi hanya 50an saja yang berpartisipasi.
"Tapi kemarin yang nggak datang ke DPRD kami anggap hangus (kesempatan pengajuan lapak). Karena sudah beberapa kali kita tatap muka, di grup WA kami minta hadir," ujarnya.
Baca Juga: Upaya Kriminalisasi Warga Jomboran yang Berusaha Jaga Sungai Progo dari Kerusakan Lingkungan
Terkait pemohonan lapak ini, paguyuban sudah mencoba menjangkau jajaran Balai Kota Yogyakarta. Paguyuban pada Senin (31/1/2022) mendatang rencananya juga akan menghadap jajaran Pemda DIY.
"Kalau saya inget ini, nasib teman-teman saya pinginnya nangis. Harus kami perjuangkan. Kalau perlu Sri Sultan saya sembah di depannya untuk memperhatikan kita. Karena ini menyangkut banyak nyawa. Maaf saya emosional, terima kasih juga untuk para pedagang yang selama ini menafkahi kita," ujarnya.
Lapak Hanya Untuk PKL Sasaran Relokasi
Terpisah, Kepala Dinas Koperasi dan UKM (KUKM) DIY, Srie Nurkyatsiwi menyatakan lapak yang tersedia di Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2 sedari awal hanya diperuntukkan bagi para PKL sasaran relokasi.
"Lapak itu kan bukan untuk pendorong, tapi untuk PKL kan. Kan sudah jelas untuk siapanya, itu relokasi bagi PKL yang selama ini sudah ada di Malioboro dan legal ada di pendataan," kata Siwi dalam keterangannya, Jumat (28/1/2022). Menurutnya, masih sangat mungkin bagi pemerintah memberikan program pemberdayaan bagi para pendorong gerobak yang terancam kehilangan pekerjaannya ini.
"Pemda itu kan mestinya fasilitasi masyarakat. Masyarakat dibina sesuai kompetensinya. Mereka (pendorong gerobak) itu kan kerjanya nggak cuma di situ terus. Pagi dan sore. Siangnya punya pekerjaan apa selama ini. Ini harus dipetakan. Apakah setelah ini benar-benar nggak ada pekerjaan, atau pendorong gerobak itu sampingan," papar Siwi.
Persoalan ini, kata Siwi, harus ditangani secara komprehensif dan holistik. Artinya, bukan cuma urusan Dinas KUKM semata. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) bisa saja dilibatkan.
"Jadi nggak bisa serta-merta anda kami kasih kerjaan ini. Maka dari itu perlu pendekatan, pembinaan, kewenangan, dan apa yang terjadi di lapangan. Pemberdayaan pastinya ada, tapi dengan syarat mau nggak ngikuti, mau praktek nggak," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi