Optika.id. Jakarta - Faisal Basri, ekonom senior, memperkirakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal ambruk secara moral sebelum 2024. Hal itu terjadi karena adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan. Faisal menguraikan bahwa situasi saat ini sudah berada di momen yang kritis. Dia menduga tiap elemen di pemerintah tidak akan langgeng bila merasa tidak mendapatkan 'kue' yang sama besar.
"Saya sih melihat sekarang sudah pada situasi critical moment, di mana para oligarki ini kan sebetulnya mirip dengan koalisi jahat ya. Nah kalau koalisi jahat itu tidak langgeng, mereka akan saling buka-bukaan karena pembagiannya tidak merata. Teman-teman KPK tahulah ya yang biasanya nggak dapat, melapor," urainya lewat webinar, Sabtu (29/1/2022).
Baca Juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
Menurut Faisal koalisi oligarki itu saat ini sudah mulai pada fase saling membuka borok dan sebagainya. Diperkirakan pemerintahan akan ambruk sebelum 2024.
"Saya prediksi sih nggak sampai 2024 secara moral pemerintahan ini sudah ambruk karena mayoritas elitnya sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, melakukan skandal dan skandalnya makin besar," jelas dia. Menurut Faisal akhirnya masyarakat akan mengetahui skandal yang ada di pemerintahan. Dia mendorong agar masyarakat cepat menyadarinya.
"Akhirnya rakyat tahu semua dan kita harus mempercepat proses rakyat tahu semua itu agar perlawanan rakyat betul-betul terwujud," pungkasnya.
Ambruk Secara Moral
Apakah yang dimaksud Faisal ambruk secara moral? Sayang Faisal tidak merinci batasan ambruk secara moral. Apakah ambruk dalam hal dukungan, legitimasi, dan atau kepercayaan publik? Kita tahu bahwa ambruk dalam hal dukungan tidak otomatis ambruknya rezim atau pemerintahannya. Kita juga tahu bahwa ambruk dalam hal legitimasi tidak otomatis rezim lengser.
Dalam teori klasik gerakan sosial, rezim bakal runtuh kalau rezim tua, presiden atau kepala pemerintahan, dalam kondisi lemah. Tidak hanya dukungan/legitimasi yang runtuh, tetapi inner circle biasanya pecah. Ada konflik serius sehingga inner circle pecah. Secara klasik Samuel P Huntington juga menyebutnya telah terjadi political decay (pembusukan politik). Di sisi lain masyarakat bergerak, kekuatan popular dan atau people power, bergerak untuk menjatuhkan rezim.
Rezim Jokowi memang tatanannya amburadul. Menterinya berjalan sendiri-sendiri dan nyaris tanpa arah yang jelas. Hal itu tampak dari saling mengoreksinya antar menteri dan presidennya sendiri. Presiden memutuskan melarang ekspor batu bara tapi seminggu kemudian Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, membatalkan keputusan presiden tersebut. Presiden menyatakan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung tanpa uang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tetapi kenyataannya disuplai dana APBN nyaris 50%.
Begitu juga anggaran pemindahan dan pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) berkali-kali dikatakan tanpa suplai APBN tetapi ternyata menggunakan APBN. Bahkan, konon, akan dimobilisir MPR (Majelis permusyawaratan Rakyat) agar melakukan amandemen Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) untuk memaksa presiden baru agar tetap meneruskan pembangunan dan membiayai IKN dengan cara memasang Pasal PPHN (Pokok Pokok Haluan Negara) dalam UUD 1945.
Kepercayaan Kepada Jokowi Masih Bagus
Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Berbagai survei tentang kepuasan masyarakat terhadap Pemerintahan Jokowi berwajah ambivalen (mendua). Banyak kinerja menteri, badan, Lembaga, dan berbagai komponen partai politik merosot kepercayaan publiknya. Yang menarik kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi masih relatif bagus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasil survei JSPI (Jaringan Survei Publik Indonesia) menunjukkan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi-Maruf masih bagusi, yakni sebesar 60,3%," kata Yuyun Andriani Manajer Riset JSPI dalam keterangan tertulisnya Jumat (14/1/2022). Beberapa Lembaga survei sebelumnya malahan mendapatkan angka lebih dari 70% kepuasan terhadap rezim Jokowi. Padahal kinerja kementeriannya relatif menurun.
Fenomena yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), tentang demagoge ekstrem yang telah memenangkan pemilu tampaknya dekat dengan rezim Jokowi. Variabel Jokowi kuat sekali sehingga tatanan pemerintahannya yang amburadul tak mengurangi kepercayaan terhadap Jokowi. Indeks demokrasi merosot. Indeks korupsi merosot. Tapi Jokowi tetap aktor popular. Levitsky dan Ziblatt memisahkan antara norma demokrasi klasik dan aktor yang demagoge.
Image dan popularitas Jokowi secara rezim dijaga benar oleh media mainstream sehingga jarang sekali tampak performance buruk Jokowi. Ada banyak buzzer dan influenzer yang setiap saat menggonggong dan menggigit siapa saja yang berseberangan dengan Jokowi. Secara riil Jokowi beserta PDIP (Partai demokrasi Indonesia Perjuangan) mempunyai kekuasaan besar di DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Republik Indonesia) yaitu sekitar 82%. Nyaris tidak ada oposisi. Oposisi besar, seperti Gerindra dan Prabowo, telah dikooptasi. PAN dan Zulkifli Hasan juga telah diambil ke dalam koalisi. Tinggal PKS (Partai Kesejahteraan Sosial) dan PD (Partai Demokrat) yang minoritas di DPR.
Yang paling penting Jokowi mempunyai kekuatan represif yang sangat efektif yaitu kepolisian, Badan Intelejen Nasional, dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) sehingga selalu menjaga kewibawaan Jokowi. Mereka sangat efektif mengontrol oposisi dan suara kritis masyarakat. di sisi lain ada kekuatan ekonomi besar memback up mereka secara sistematis. Dari sini represivitas politik dan ekonomi Jokowi bisa diback up secara total oleh mereka. Ada 9 Naga dan kekuatan komprador lainnya. Mereka saat ini bahu-membahu dengan kekuatan ekonomi internasional, utamanya dari Cina, berada di depan dan belakang Jokowi.
Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi
Di sisi lain kekuatan popular, seperti mahasiswa, buruh, media massa, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), akademisi, dan kekuatan Islam non Jokowi sangat mudah dilemahkan. Baik dihimpit dalam ranah hukum, ekonomi, dan politik. Kekuatan Islam populis yang seolah-olah tampak beringas ternyata bisa ditekuk dengan sangat sederhana oleh kekuatan kepolisian, media massa mainstream, dan parlemen.
Makna kalimat Faisal bahwa rezim Jokowi bakal ambruk secara moral sebelum 2024 adalah gambaran keadaan deprivasi relatif (ketimpangan antara yang diinginkan masyarakat dengan kenyataannya) di tengah masyarakat dan gejala konflik kepentingan di inner circle Jokowi. Jika kekuatan masyarakat tidak tumbuh dengan cepat untuk mengeritik dan melawan negara maka rezim Jokowi bisa mabruk secara moral sebelum 2024, namun tidak ambruk kekuasaan dan rezimnya. Jokowi dan rezimnya akan selalu bisa recovery dan reproduksi kekuatannya secara sistematis.
Tulisan: Aribowo
Editor: Amrizal Ananda Pahlevi
Editor : Pahlevi