Optika.id - Rencana pemetaan masjid terkait radikalisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dikritisi oleh Psikolog Forensik, Reza Indri Amriel. Dalam rencana tersebut, BNPT menggandeng Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam kegiatan tersebut.
"Kita sepakat terorisme harus dilawan. Tapi haruskah lewat pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI? Rencana program itu malah terkesan mirip The NYPD Muslim Surveillance Program. Setelah digugat, NYPD bayar settlement sekitar 80 ribu dolar kepada masjid dan warga yang dirugikan," kata Reza dalam keterangannya, Selasa (1/2/2022).
Baca Juga: Usulan BNPT, Pemerintah Bisa Awasi Seluruh Rumah Ibadah Mirip Era Kolonial
Menurut Reza, dalam rencana tersebut terdapat beberapa kerumitan dari rencana program pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI tersebut. Tercatat per Maret 2021 sendiri terdapat 598 ribuan masjid se-Indonesia, data dari Dewan Masjid Indonesia hingga tahun 2020 menunjukkan 800 ribu hingga 900 ribu masjid di seluruh Indonesia. Dengan demikian, pemantauan terhadap suatu objek yang tidak kasat mata seperti paham, ideologi dan isme-isme lain terhadap masjid yang tersebar tersebut pasti sulit dilakukan.
Tak hanya itu, Reza juga mengatakan jika dibutuhkan parameter dan indikator yang akurat dan lengkap untuk menyimpulkan secra valid masjid mana saja yang menyebarkan paham terorisme dan radikalisme.
"Begitu pula dari sisi reliabilitas. Ketika sebuah masjid dicap berafiliasi dengan terorisme, berapa lama cap itu akan berlaku? Pasti perlu monitoring berkala, dan itu mahal dari segi anggaran," ujar Reza.
Rencana pemetaan tersebut menurut Reza seperti menstigma masjid sebagai satu-satunya tempat ibadah yang dianggap bermasalah dan terancam bermasalah. Ini merupakan pertanda bias sekaligus gross generalization terhadap rumah ibadah tertentu.
Di sisi lain, pemetaan tersebut bisa mengancam dan menganggu keharmonisan relasi antar umat islam jamaah masjid itu sendiri. Bisa jadi, rencana pemetaan tersebut jika direalisasikan bisa membuat umat saling menaruh curiga serta prasangka. Bahkan, polisi yang datang ke masjid untuk shalat bisa disikapi sebagai orang yang mencurigakan.
Baca Juga: Ingin Rumah Ibadah Dikontrol Pemerintah, MUI: Bertentangan dengan UUD 1945
Reza juga menyinggung soal beberapa Isme yang destruktif pada masa kini yang menyebar lewat berbagai situs internet dan media sosial dimana mekanismenya masuk melalui self-radicalization dan self-recruitment.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Penyebaran seperti itu bisa terjadi di mana pun dan kapan pun. Alhasil, dengan nature regenerasi teror sedemikian rupa, apa justifikasi Polri dan BPET MUI untuk melakukan pemetaan sekaligus pemantauan terhadap masjid?" tegas Reza mempertanyakan
Rencana program tersebut jika terlaksana justru malah menjadi kontraproduktif bagi situasi kamtibmas dan berdampak negatif pada hubungan antara Polri dengan masyarakat. Menurut Reza, sangat disayangkan jika kesadaran yang sudah terbangun guna melawan terorisme justru menjadi setback akibat dari program pemetaan tersebut. Apalagi, jika warga nanti merasa dirugikan nantinya bisa menggugat Polri untuk membayar settlement, bisa-bisa anggaran Polri terkuras.
"Soft approach, begitu kabarnya pemetaan masjid akan dilakukan. Tapi hard hit, itu ekses yang justru mungkin terjadi. Jadi, timbanglah kembali. Batalkan, lebih baik lagi," pungkas Reza.
Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi