[caption id="attachment_12269" align="alignnone" width="155"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I Sekdir Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Surabaya & Pengasuh Pesantren Bumi Al Quran Grand Masangan Sidoarjo[/caption]
Secara ideal Perguruan Tinggi berfungsi sebagai ruang memproduksi gagasan (intelektual) dan agen sosial kritis dalam rangka mendorong perubahan sosial (social movement) masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan iklim (ruang) kemerdekaan dan kebebasan akademik bagi insan Perguruan Tinggi terutama bagi para dosen dan mahasiswa.
Baca Juga: Lewat Program Insentif Abdimas Ditjen Dikti, Universitas Widya Kartika Dorong UMKM Naik Kelas
Tridharma Perguruan Tinggi (mengajar, mengabdi dan meneliti) harusnya menjadi katalisator ruang reproduksi gagasan dan agen sosial kritis untuk kebaikan masyarakat.
Namun yang tampak saat ini adalah bukan ruang kemerdekaan atau kebebasan akademik para dosen dan mahasiswa, tetapi yang tampak tampil di Perguruan Tinggi kita malah wajah administratif-biokratif yang terjebak pada budaya "Kolonialisasi Perguruan Tinggi".
Saat ini secara formal program yang diusung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI dibawah Menteri Nadiem Makarim adalah Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM).
Namun, program MBKM tersebut terlihat manis dan bagus di rumusan konsep, tetapi masih berkutat diurusan administrasi. Serta dalam realitas praksis di dunia kampus masih jauh dari makna dan wujud nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri.
Baca Juga: Kunjungi UMS, Ketua KPK Minta Kampus Ikut Serta Berantas Korupsi
Realitasnya kita masih sering melihat praktek-praktek budaya kolonialisasi wajah kampus itu sendiri. Diantaranya masih sering terjadi pembungkaman kritik dan otokritik dengan beragam dalih untuk stabilitas dan kesejukan ruang akademik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wajah "Kolonialisasi Perguruan Tinggi" tampak dari beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di ruang pendidikan tinggi kita.
Pertama, masih marak pembungkaman suara kritis mahasiswa dan dosen. Kedua, sepinya suara dosen membantu masyarakat. Ketiga, dosen sibuk dengan urusan administrasi daripada keilmuan. Keempat, kapitalisasi pendidikan tinggi, mahalnya biaya. Kelima, perguruan tinggi sibuk dengan memburu image adminstrasi daripada image basis keilmuan. Keenam, sepinya ruang keilmuan dan inovasi di dunia kampus. Ketujuh, politisasi dunia kampus. Pola ini kita sayangkan dengan ada beberapa pimpinan kampus yang merangkap menjadi komisaris perusahan Negera (BUMN).
Baca Juga: Kenalan Yuk, Ada Prodi Baru Rekayasa Kosmetik (KOS) Satu-satunya di Indonesia, Apa Itu?
Melihat realitas di atas tentunya wajah perguruan tinggi harus disadarkan dan dikembalikan lagi ke pada wajah aslinya sebagai wajah kemerdekaan, wajah inovasi, wajah keilmuan, wajah daya kritis, wajah humanis, wajah demokratis dan wajah pembela rakyat.
Editor : Pahlevi