Dua Hakim Mahkamah Konstitusi Nilai Sudah Saatnya Hapus Presidential Threshold 20 persen!

author Seno

- Pewarta

Kamis, 24 Feb 2022 23:27 WIB

Dua Hakim Mahkamah Konstitusi Nilai Sudah Saatnya Hapus Presidential Threshold 20 persen!

i

images - 2022-02-24T162434.617

Optika.id - Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra dan Suhartoyo, menilai sudah saatnya menghapus presidential threshold 20 persen. Namun suara keduanya kalah dengan suara mayoritas hakim konstitusi sehingga ambang batas 20 persen masih berlaku.

"Sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang-undang," ujar Suhartoyo dalam sidang terbuka, seperti dikutip Optika.id dari channel YouTube MK, Kamis (24/2/2022).

Baca Juga: Megawati Respon MK: Ternyata Hakim Masih Punya Hati Nurani dan Keberanian!

Menurut Saldi Isra dan Suhartoyo, dengan pemilu serentak, rezim ambang batas menggunakan hasil pemilu anggota DPR menjadi kehilangan relevansinya dan mempertahankannya berarti bertahan memelihara sesuatu yang inkonstitusional. Tambah lagi, apabila diletakkan dalam desain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau Presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.

"Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif," tutur Suhartoyo-Saldi Isra.

Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer. Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

"Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia," ujar Suhartoyo-Saldi Isra.

Pertanyaan elementer yang niscaya diajukan, kata Suhartoyo-Saldi Isra, mengapa ambang batas pengajuan calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial. Bahkan, studi komparasi menujukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden (dan wakil presiden).

"Logika lain yang selalu dikembangkan, ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif," kata Suhartoyo-Saldi Isra.

Namun logika ini juga dimentahkan Suhartoyo-Saldi Isra. Menurut keduanya, hal itu sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden. Sementara itu, jika partai politik mayoritas di legislatif sama dengan partai politik presiden atau mayoritas partai politik legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter.

"Secara doktriner dipahami, sistem pemerintahan presidensial berayun antara dua pendulum, di satu sisi pemerintahan yang tidak stabil, sementara di sisi lain mudah terperangkap ke dalam praktik pemerintahan otoriter. Kondisi dilematis ini dikenal sebagai paradox of presidential power," papar Suhartoyo-Saldi Isra.

Alasan presidential threshold sebagai kebijakan terbuka yang dimiliki DPR juga dinilai tidak tepat. Sebab, kebijakan hukum terbuka dapat dibatalkan bila melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

"Memaknai moralitas dalam perumusan norma hukum dapat dilacak dengan alat ukur yang sangat sederhana, yaitu seberapa besar pembentuk Undang-Undang memiliki himpitan kepentingan (conflict of interest) dengan norma atau Undang-Undang itu sendiri," tutur Suhartoyo-Saldi Isra.

"Bagaimana mungkin menilai kehadiran norma Pasal 222 UU 7/2017 jika ia sengaja dirancang untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan politik yang menyusun norma itu sendiri?" tanya Suhartoyo-Saldi Isra.

Dalam hal ini, menurut keduanya, bagaimana mungkin menerima rasionalitas di balik penyusunan norma Pasal 222 UU 7/2017 ketika hasil Pemilu DPR 2014 dipakai atau digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2019. Tidak hanya itu, pemberlakuan tersebut jelas-jelas merusak rasionalitas dan makna daulat rakyat dalam kontestasi pemilu.

"Begitu pula dengan ketidakadilan yang intolerable, tanpa perlu menjelaskan lebih filosofis dan teori-teori yang rumit, Pasal 222 UU 7/2017 secara terang-benderang merugikan dan amat jauh dari rasa adil bagi partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak diberikan kesempatan mengajukan calon presiden (dan wakil presiden) karena tidak memiliki kursi atau suara dalam Pemilu 2019," tutur Suhartoyo-Saldi Isra.

Berikut ini pertanyaan Suhartoyo-Saldi Isra bila presidential threshold 20 persen tetap dipertahankan:

Dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR 2019 sebagai ambang batas mengajukan calon Presiden (dan Wakil Presiden Pemilu 2024), bagaimana memastikan bahwa partai politik peserta Pemilu Anggota Legislatif 2024 yang berasal dari partai politik hasil Pemilu 2019 tetap mampu memiliki kursi atau suara sah secara nasional paling tidak sama dengan capaian jumlah kursi atau suara sah secara nasional pada Pemilu 2019?

Bagaimana jika kursi atau suara sah secara nasional yang diraih dalam Pemilu 2024 lebih rendah dibanding Pemilu 2019?

Atau, bagaimana jika partai politik yang mengajukan calon presiden (dan wakil presiden) dengan menggunakan hasil Pemilu 2019 tidak bisa memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR sebagaimana diatur Pasal 414 UU 7/2017 dalam Pemilu 2024?

Bagaimana mungkin argumentasi untuk membangun stabilitas tersebut dapat dibenarkan jika peluang partai politik peraih kursi atau suara sah tidak bisa dijamin untuk dapat bertahan di DPR?

"Rangkaian pertanyaan tersebut sangat mudah mematahkan cara pandang bahwa ambang batas (presidential threshold) yang berasal dari hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya dimaksudkan untuk membangun stabilitas pemerintahan. Argumentasi tersebut makin sulit dipertahankan dengan menggunakan hasil Pemilu Anggota DPR 2019 karena dinamika politik dari satu periode pemilu ke pemilu periode berikutnya amat mungkin berubah secara drastis," jelas Suhartoyo-Saldi Isra.

"Oleh karena menggunakan cara berfikir di atas, seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan a quo. Secara hakiki, mengabulkan permohonan Pemohon adalah wujud nyata dari pemenuhan daulat rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945," pungkas Suhartoyo-Saldi Isra.

Berikut ini daftar pemohon judicial review presidential threshold 20 persen yang diputus hari ini:

5/PUU-XX/2022

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Baca Juga: MK Ubah Ambang Batas Pencalonan, Sekarang PDIP Bisa Usung Paslon!

Pemohon: Lieus Sungkharisma

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Putusan MK: Tidak dapat diterima

6/PUU-XX/2022

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, SH., MH, Fahira Idris, SE., MH

Putusan MK: Tidak dapat diterima

7/PUU-XX/2022

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Ikhwan Mansyur Situmeang

Putusan MK: Tidak dapat diterima

66/PUU-XIX/2021

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Ferry Joko Yuliantono SE AK

Baca Juga: Suhartoyo MK: Putusan Sengketa Pilkada Bisa Lebih Progresif!

Putusan MK: Tidak dapat diterima

68/PUU-XIX/2021

Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: H. Bustami Zainudin S.pd., M.H, H. Fachrul Razi, M.I.P

Putusan MK: Tidak dapat diterima

70/PUU-XIX/2021

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Gatot Nurmantyo

Putusan MK: Tidak dapat diterima

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU