[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="164"] Ruby Kay[/caption]
Film Indonesia terbaik dibuat tahun 1950-an.
Karya sastra Indonesia terbaik lahir tahun 1950-an.
Dan politisi Indonesia terbaik adalah mereka yang hidup ditahun 1950-an.
Baca Juga: Oposisi Memang Berat Mas AHY, Demokrat Takkan Kuat, Biar Rakyat Saja
1950-an adalah masa ketika Republik ini memiliki banyak cendekiawan yang mengisi kepalanya dengan buku-buku bermutu. Perdebatan diparlemen bukan didasarkan atas kebencian personal, melainkan murni karena perang pemikiran, perang ideologi, ide dan gagasan.
1950-an adalah masa ketika parlemen Indonesia miliki talenta multi warna. Perdebatan boleh keras, gebrak meja, muka memerah, mata melotot, tapi tetap mengedepankan etika dan semangat cinta tanah air.
1950-an adalah masa dimana rakyat mengidolakan sosok manusia yang benar-benar berkualitas. Dijaman itu, makhluk macam Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Abu Janda, Ade Armando maksimal cuma jadi tukang sapu atau penjaga WC umum di stasiun pasar Senen. Gak bakal yang seperti itu muncul kepermukaan. Generasi 50-an mengidolakan penulis macam HAMKA, AA Navis, HB Jassin dan Pramoedya Ananta Toer. Tulisan sampah dari buzzer Jokowi asli gak bakal dilirik oleh pemuda-pemudi saat itu.
1950-an adalah masa ketika parlemen diisi oleh orang-orang cerdas. Natsir dan Aidit berdebat panas. Masyumi versus PKI saling adu gagasan tentang visi misi Republik kedepan. Riuh rendah suara saling bantah, muka legislator memerah, namun semua pihak masih bisa mengendalikan amarah.
Saat waktu ISHOMA tiba, Natsir melipir ke masjid terdekat untuk melaksanakan sholat, sedangkan Aidit menuju ruang pantry untuk membikin dua cangkir kopi.
Dua orang berlainan ideologi itu bertemu diselasar ruang sidang konstituante. Aidit lalu memberi secangkir kopi hitam yang dibuatnya tadi kepada Natsir.
"Bagaimana kabar istrimu bung? Aku dengar ia sedang dirawat dirumah sakit" tanya Aidit membuka obrolan.
Baca Juga: Aksi Akrobatik Orang Narsis dalam Panggung Politik
"Alhamdulillah, sudah mulai membaik bung" jawab Natsir sambil menyeruput kopi buatan Aidit yang terasa kurang gula.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Ini kopi kok pahit sekali bung Aidit?" tanya Natsir sambil mengernyitkan dahi.
"Bung Natsir perlu kopi pahit, jangan sampai tertidur diruang sidang. Kita akan lanjutkan perdebatan. Saya masih belum puas dengan sanggahan bung terhadap ideologi marxist tadi" ujar Aidit tersenyum sambil menepuk pundak Natsir penuh arti.
Yup. Rivalitas elit Masyumi dan PKI pada tahun 1950-an mirip tokoh kartun Tom and Jerry. Itu semua terekam dalam buku "NATSIR. Politik santun di antara dua rezim".
Baca Juga: Isu Rohingya Tak Cukup Laku Buat Jadi Komoditas Politik?
Jam 2 subuh, perdebatan diruang sidang konstituante berakhir. Natsir celingak-celinguk ditepi jalan, tak ada lagi bis umum yang lewat. Datang Aidit mengendarai sepeda motor, menawarkan Natsir tumpangan. Kebetulan rumah mereka searah. Dan dua tokoh partai berlainan ideologi itupun saling berboncengan membelah jalanan sunyi kota Jakarta tahun 1950-an.
Ruby Kay
Editor : Pahlevi