Optika.id, Jakarta - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dr. HM Hidayat Nur Wahid, MA menyesalkan berlanjutnya narasi intoleran dan tidak menjaga harmoni. Penyesalan, itu disampaikan Hidayat terkait komentar penceramah agama yaitu Saifuddin Ibrahim, yang keluar dari agama Islam dan belakangan disebut-sebut berprofesi sebagai pendeta.
Beberapa waktu lalu, Saifuddin melakukan penistaan Islam dengan terbuka untuk meminta 300 ayat Al-Qur'an dihapus atau direvisi karena dia mengajarkan kekerasan dan Pesantren adalah sumber serangan.
Baca Juga: HNW Kritik BNPT Soal Pemerintah Kontrol Rumah Ibadah, Kenapa?
Ketika BNPT meningkatkan kesadaran publik soal bahaya radikalisme dengan me-launching kriteria radikalisme. Dan Kemenag menjadikan 2022 sebagai tahun moderasi. Hidayat mengatakan, sewajarnya bila dilakukan tindakan hukum yang tegas dan keras terhadap penceramah agama itu.
Apalagi, jelas sekali ceramahnya radikal dan tidak moderat. Menyebarkan permusuhan dan ujaran kebencian, intoleran dan harmoni-harmoni antara umat beragama. Bahkan terhadap umat Islam yang merupakan warga Indonesia.
Tindakan Saifuddin jelas tidak mencerminkan semangat moderasi dan harmoni serta toleransi di kalangan umat beragama di Indonesia, dan akan berpotensi menimbulkan kegaduhan dan hambatan umat Islam. Oleh karena itu, sepantasnya bila penegak hukum bertindak cepat bertindak cepat menangani radikalisme dan delik penistaan agama Islam yang dilakukan oleh penceramah ini, katanya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (16/3/2022).
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menambahkan, pernyataan Saifuddin yang menyatakan bahwa 300 ayat Al Quran mengajarkan kekerasan. Menurutnya, pernyataan itu adalah fitnah, tendensius dan meresahkan umat Islam. Ajaran-ajaran Islam, kata Hidayat, memang ada yang bersikat lembut dan juga tegas, terutama terhadap kebatilan.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ayat-ayat Al Quran yang tegas tersebut dijadikan sebagai dasar bagi ulama dan umat untuk melawan melawan Belanda. Itulah yang dilakukan Pesantren dengan para Kiyai, Ulama dan penceramahnya. Dengan ayat-ayat Al-Qur'an mereka membela bangsa dan negara melawan para pihak maupun kelompok komunis yang dua kali melakukan kudeta. Karena selain kasih, rahmatan lil alamin, Al-Qur'an juga bersikap tegas terhadap kedzaliman melawan kejahatan, pelanggaran hukum dan otoritarianisme, jelas Anggota DPR RI Komisi VIII yang salah satunya membidangi urusan keagamaan ini.
Hukuman yang tegas menurut HNW perlu diberikan kepada Saifuddin yang ternyata juga merupakan residivis penista agama. Sebelumnya, Saifuddin pada 2018 lalu telah divonis 4 tahun penjara karena kasus penistaan Agama Islam.
Baca Juga: HNW Ingatkan MK Tetap Konsisten dan Selalu Jaga Konstitusi
Lalu, setelah penjara, Saifuddin tidak bertaubat, berulang-ulang kejahatan yang dilakukan malah lebih parah. Jadi, sangat layak dalam rangka keadilan dan pemberantasan radikalisme apabila aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman yang lebih berat, kepada pihak yang berulang-ulang kejahatannya, seperti Saifuddin itu, tukasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga meminta agar masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia, tidak terprovokasi menghadapi hal tersebut. Tetapi pihak penegak hukum yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalah ini agar betul-betul memastikan hukum yang tegas dan keras. Agar masalah ini tidak menjadi tren yang bisa menumbuhkan radikalisme dan merusak harmoni antar umat beragama.
Meskipun demikian, HNW juga mengingatkan Kemenag dan BNPT untuk berkolaborasi mengatasi masalah penceramah agama ini. Karena Saifuddin sebelum meninggalkan agama, mengaku jadi pendeta dan melakukan ceramah agama yang bermasalah.
Apabila Kemenag membuat program sertifikasi Ulama dan penceramah agama, juga berlaku adil untuk seluruh agama yang diakui di Indonesia. Demikian juga ketika Menag mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun moderasi beragama, maka yang dilakukan oleh Penceramah Saifuddin itu jelas tidak masuk kategori moderasi, justru bisa masuk kategori radikalisme dan intoleran. Juga kepada BNPT, agar kriteria penceramah radikal yang disebutkan oleh BNPT, penting untuk segera direvisi. Karena 5 kriteria yang membikin gaduh dan ditolak oleh MUI serta Muhammadiyah, dinilai tidak adil dan hanya menyasar penceramah muslim. Padahal banyak kasus, termasuk kasus Saifuddin ini menjadi contoh nyata bahwa penceramah dari agama apapun juga bisa berlaku radikal, menyebarkan permusuhan, dan membuat disharmoni," pungkasnya
Baca Juga: Soal Kasus Rp349 Triliun, HNW Ingin Pemerintah Segera Bahas Draft RUU Perampasan Aset di DPR
Reporter: Denny Setiawan
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi