Saat Umar Bin Khattab Memergoki Seorang Ibu Memasak Batu

author optikaid

- Pewarta

Sabtu, 19 Mar 2022 12:46 WIB

Saat Umar Bin Khattab Memergoki Seorang Ibu Memasak Batu

i

Umar bin Khattab

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="151"] Ruby Kay[/caption]

Kisah klasik ini sejatinya sudah sering kita dengarkan. Ditengah kondisi perekonomian yang sedang mengalami penurunan, ijinkan hamba menceritakan kembali secuil kisah khalifah Umar bin Khattab.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Semua ulama yang menulis riwayat tentang Umar bin Khattab selalu menggambarkan bahwa khalifah kedua itu adalah seorang pria yang tegas, wataknya keras, raut wajahnya dingin, jarang tersenyum. Dan bila sudah murka, suaranya menggelegar bikin lutut bergetar.

Terkenal karena maskulinitas dan keberaniannya saat bertempur dimedan perang, semasa hidupnya para sahabat hanya tiga kali menyaksikan Umar bin Khattab mengeluarkan air mata;
1. Saat pertama kali mendengar lantunan ayat suci Al Qur'an,
2. Saat Rasulullah wafat,
3. Saat memergoki seorang janda miskin tengah memasak batu kerikil.

Pada suatu masa ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq, tanah arab dilanda paceklik. Disaat seperti itu, Umar sering blusukan hingga kepelosok kampung terpencil hanya untuk melihat kondisi rakyatnya. Yup, Umar bukan tipikal pemimpin yang cuma ongkang-ongkang kaki. Umar tak cuma mengandalkan laporan dari bawahannya. Dimusim gagal panen, Umar justru lebih sering blusukan tanpa membawa pasukan, tanpa iring-iringan tim hore, tanpa diumumkan terlebih dahulu. Jaman sekarang lebih kita kenal dengan nama sidak alias inspeksi mendadak.

Suatu malam, Umar bin Khattab kembali melakukan blusukan ditemani seorang sahabat bernama Aslam. Beberapa kilometer dari kota Madinah, mereka terhenti disebuah perkampungan karena mendengar suara gadis kecil sedang menangis. Setelah ditelusuri, asal tangisan itu berasal dari sebuah tenda lusuh. Umar dan Aslam mendekati asal suara lalu mengucapkan salam.

Terlihat seorang perempuan tua berpakaian lusuh sedang duduk didekat perapian sambil mengaduk bejana.

"Siapa yang tengah menangis itu wahai ibu?" tanya sang khalifah.

"Anakku!" jawab si ibu ketus. Ia tak tahu kalau pria yang bertanya adalah sang khalifah pemimpin ummat Islam.

"Kenapa anakmu menangis? Apakah dia sakit? tanya Umar bin Khattab.

Tidak, ia cuma lapar, balas si ibu acuh tak acuh.

Jleb! Jawaban itu membuat Khalifah Umar mulai merasa gak enak. Dalam hati ia merasa bersalah, ternyata masih ada ummat yang luput dari perhatiannya. Gadis kecil di dalam tenda masih menangis dan ibunya terus saja mengaduk bejana. Perbuatannya itu membuat Umar penasaran.

Apa yang kau masak wahai ibu? Mengapa tidak juga matang masakanmu? tanya Khalifah.

Kau lihatlah sendiri! jawab si ibu tetap ketus.

Khalifah Umar dan Aslam segera melihat isi bejana tersebut. Seketika mereka kaget dan tercengang melihat isi bejana itu. Ternyata isinya batu kerikil.

Kenapa kau memasak batu kerikil wahai ibu? tanya Khalifah Umar tercengang.

Aku memasak batu untuk menghibur anakku. Aku sudah tak punya bahan makanan yang bisa dimasak. Apakah Khalifah peduli dengan nasibku? Apakah dia tahu kalau dimusim paceklik ini aku dan anakku mesti menahan lapar? batu itu kumasak untuk membohongi anakku dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, acapkali ia terbangun dan menangis minta makan. Aku cuma janda, suamiku gugur dimedan perang ketika ikut membela kehormatan Islam. Sungguh Umar bin Khattab tak pantas jadi pemimpin. Ia tidur dengan perut kenyang, sedangkan rakyatnya kelaparan" ucap sang ibu berkeluh kesah.

Aslam beranjak ingin memberitahu sang ibu bahwa yang dihadapannya adalah seorang Khalifah. Tapi Umar mencegahnya.

Baca Juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

"Wahai ibu, tunggu sebentar. Aku akan membawakanmu bahan makanan" ucap Umar lalu berpamitan dan bergegas memacu kudanya kearah kota Madinah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah sampai di Baitul Mal, Umar bin Khattab mengambil beberapa karung gandum dan bahan makanan lainnya. Beliau mengangkat sendiri karung gandum itu dipunggungnya.

Aslam yang melihat hal itu berupaya mencegah. "Wahai amirul mukminin, ijinkan aku yang mengangkat karung gandum itu" ujar Aslam dengan penuh hormat.

Wajah Umar bin Khattab merah padam. Terlihat air mata membasahi pipinya. Ia marah dengan dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena saat menjadi khalifah ternyata masih ada rakyat yang kelaparan. Perih hatinya menyaksikan nasib sang ibu dan anaknya tadi.

"Wahai Aslam. Tak perlu kau membantuku. Biarkan aku yang memanggul sendiri karung gandum ini. Apakah kau mau memikul dosaku dihari pembalasan kelak?" Ujar Umar sambil terseok-seok mengangkat karung gandum.

Aslam tertunduk, terpaku didekat pintu Baitul Mal. Ia menjadi saksi seorang khalifah yang sedang berupaya menebus kesalahannya.

Dini hari, ketika penduduk Madinah sedang tertidur lelap, Umar dan Aslam kembali memacu kuda mereka menuju tenda ibu tadi. Sesampainya disana, Umar memerintahkan Aslam membantunya menyiapkan makanan. Yup, dibantu oleh Aslam, Umar memasak makanan dengan tangannya sendiri. Sementara si ibu dan anaknya tadi ternyata sudah tertidur meringkuk ditenda sederhana.

Umar mengaduk bejana sambil berlinang air mata. Tak henti-hentinya beliau meminta ampun kepada Allah SWT karena merasa telah lalai saat menjadi khalifah.

Saat masakan telah matang, Umar membangunkan ibu dan anak yang kelaparan tadi. Si ibu terperanjat, tak menyangka orang yang mendatangi tendanya telah membawakan beberapa karung gandum, selimut dan alas tidur, bahkan menyiapkan makanan untuknya.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Melihat ibu dan anaknya makan dengan lahap, khalifah Umar mulai sedikit tenang. Tak lama kemudian, Umar dan Aslam berpamitan.

"Temuilah amirul mukminin dikota Madinah. Insya Allah dia akan mencukupi kebutuhanmu dan anakmu" ucap khalifah Umar.

Esok harinya, si ibu dan anaknya menemui sang khalifah. Betapa kagetnya tatkala melihat sosok amirul mukminin ternyata adalah orang yang ia temui tadi malam.

Aku mohon maaf wahai khalifah karena telah menyebutmu dengan kata-kata tak pantas. Aku siap dihukum, kata si ibu sambil bersimpuh dihadapan sang khalifah.

"Ibu tidak bersalah, akulah yang berdosa karena telah membiarkan seorang ibu dan anaknya kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan hal ini di akhirat kelak? Maafkan aku, wahai ibu"

Setelah kejadian itu, Umar bin Khattab menulis surat kepada para gubernur yang berkuasa di Mesir maupun Syam. Memerintahkan mereka untuk sesering mungkin melakukan blusukan, memastikan rakyat yang hidup dibawah kekuasaan kekhalifahan Islam tercukupi sandang, pangan, papan.

Ketegasan, keadilan dan sikap welas asih Umar bin Khattab saat menjadi khalifah ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Islam. Sudah seharusnya riwayat hidup khalifah Umar menjadi panutan ummat Islam akhir jaman. Jika kita tak bisa meneladani semua hal, setidaknya tirulah sikap Umar saat melakukan blusukan. Ia lakukan tugasnya itu dengan ikhlas tanpa pencitraan, tak perlu koar-koar, tak perlu membawa pasukan, tak butuh pengawalan. Umar bin Khattab hanya memastikan rakyatnya tak ada yang kelaparan.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU