Optika.id - Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menganggap wacana penundaan pemilu di tahun 2024 masih menjadi polemik panas di semua kalangan. Padahal secara konstitusional pemilu harus tetap dilaksanakan sesuai UUD era Reformasi.
"Pemilu 2024 tidak boleh ditunda malahan sesuai pasal 22 ayat 1 tegas mengatakan bahwa pemilihan umum dilakukan secara langsung bebas dan adil setiap lima tahun sekali. Kemudian di pasal 22 ayat 2 disebutkan pemilihan umum untuk memilih anggota dewan rakyat, anggota dewan daerah, dan memilih presiden dan wakil presiden jadi definitif sekali, jadi itu sesuai dengan UUD rezim reformasi," kata Hidayat Nur Wahid dalam diskusi virtual Forum Insan Cita, Minggu (20/3/2022) malam.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Ia menduga banyak kalangan yang memanfaatkan UUD tersebut sebagai jalan untuk menunda pemilu.
"UUD itu bisa jadi manuver terhadap pihak-pihak yang beralasan untuk tetap menolak pemilu dilakukan di tahun 2024. Ada anggapan dulu boleh kok pemilu dimundurkan atau dimajukan katanya dulu pak Habibie malah memajukan dari tahun 2003 ke tahun 1999, sedangkan pak Harto dari tahun 1973 ke tahun 1971, dan pak Karno pemilu hanya diselenggarakan sekali tahun 1955 setelah itu tidak ada pemilu kembali. Kalau dulu boleh sekarang kenapa tidak boleh," urainya.
Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menilai logika berpikir yang dimunculkan adalah sesuatu perbuatan yang keliru atau salah.
"Logika berpikir seperti ini dimunculkan untuk menjustifikasi bahwa tidak apa-apa dimundurkan dulu juga dimundurkan kok. Satu hal yang mereka lupa dan pura-pura lupa juga tidak disampaikan adalah dulu bisa begitu karena UUD tidak mengatur secara detail tentang pemilu, malahan di UUD 1945 yang asli tidak ada kata-kata pemilu. Padahal pemilihan langsung setiap lima tahun sekali sudah disepakati sejak pemilu 2004 dan semua elemen pemangku kepentingan sepakat kalau pemilu harus tepat waktu," tegasnya.
Hidayat mengungkapkan wacana penundaan pemilu dapat dilakukan hanya melalui amandemen UUD tahun 2004.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
"Wacana penundaan pemilu itu bisa dilakukan pintunya bisa melalui amandemen UUD yang dipakai sejak tahun 2004. Sedangkan amandemen UUD 1999 hingga tahun 2002 itu berbeda dengan yang di 2004. Kalau ketentuan-ketentuan dalam pasal 22 e ayat 1, ayat 2, pasal 7 ayat 1 dan 2. Dimana pasal itu berbunyi rakyat pemilik kedaulatan memilih presiden dan wakil presiden, anggota dpr, anggota dpd dalam rentan waktu masa jabatan lima tahun atau pemilu lima tahun sekali. Dan itu harus dilakukan kalau tidak sampai terjadi sebuah kemunduran, rakyat akan tercederai hak konstitusionalnya," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hidayat menambahkan ia merasa pesimis hal tersebut dapat dilakukan kalau melihat peta perpolitikan yang saat ini terjadi.
"Saya merasa amandemen UUD pun tidak mungkin dilakukan kalau melihat dinamika politik yang terjadi. Bahkan sampai saat ini di MPR pun belum ada satupun anggota yang mengusulkan hal itu terjadi. Kalaupun tiga pimpinan partai yang bermanuver mengusulkan penundaan pemilu, jika mereka tetap solid jumlah mereka barulah 187 padahal dalam pasal 37 disebutkan sekurang-kurangnya diperlukan sepertiga anggota MPR. Sedangkan sepertiganya itu 287, bahkan mayoritas pimpinan partai baik itu di MPR maupun DPR mengatakan dengan tegas tidak mendukung atau menolak penundaan pemilu," tandasnya.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Reporter: Denny Setiawan
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi