Dampak Rencana Pemindahan IKN, Suku Dayak Menolak dan Ingin Referendum

author Denny Setiawan

- Pewarta

Selasa, 05 Apr 2022 01:30 WIB

Dampak Rencana Pemindahan IKN, Suku Dayak Menolak dan Ingin Referendum

i

suku dayak kalimantan

Optika.id - Pengamat Politik Saeful Zaman menilai pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. 

Ia menganggap rencana tersebut seperti tidak dipersiapkan secara matang dan banyak memunculkan polemik setelah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. 

Baca Juga: Jokowi Soal Pindah ke IKN: Pindah Ibu Kota Jangan Dikejar-kejar

"Akan ada persoalan psikologis bagi orang-orang yang mau pindah kesana dan yang ada disana. Kita dengar ada keinginan referendum dari sahabat kita Suku Dayak. Ini tentu masuk pada persoalan psikologis dan antropologis, ini sangat berat sekali. Indikator-indikatornya terus bertambah seperti mengarah ketidakmatangan dalam mempersiapkan ibu kota negara," kata Saeful dalam akun YouTube-nya Saeful Zaman seperti dikutip Optika.id, Senin (4/4/2022).

Saeful juga menyayangkan dalam proses pemindahan ibukota negara pemerintah tidak mempersiapkan terlebih dahulu terkait dampak sosial yang akan terjadi di Kalimantan Timur.

"Yang jelas pemindahan itu tidak diawali dengan empati sosial. Harusnya pemerintah pusat itu mengkalkulasi dengan matang efek-efek yang terjadi dengan orang-orang yang sudah puluhan tahun sudah tinggal disana. Dan buktinya masyarakat Dayak seperti tidak diperhatikan dan tidak dianggap bahkan mereka merasa dianggap tidak ada. Katanya ada, tapi yang terlihat kan hanya melibatkan pemangku adat di level desa. Padahal ini kan persoalan nasional, dan orang-orang dayak itu kan sudah tersebar di mana-mana bahkan di seluruh dunia. Maka semestinya pemerintah melibatkan semua stakeholder secara lengkap dan tidak cukup hanya sebagian saja," terangnya.

Saeful menambahkan ia mendukung wacana referendum yang akan dilakukan suku Dayak terkait pemindahan IKN. Ia menilai langkah seperti ini bisa saja dilakukan akibat macetnya komunikasi antara kedua belah pihak.

"Saya kira saya sepakat lakukan saja referendum karena ini bisa betul-betul menjawab apakah pihak yang disana (suku dayak) berkenan dengan berbagai rencana yang sudah dirancang dari pulau jawa atau tidak. Kalau tidak kan bisa dilakukan rekalkulasi, renegoisasi, bahkan juga bisa replanning. Kalau memang setelah dievaluasi banyak ditemukan tidak manfaatnya sebaiknya batalkan saja," bebernya.

Sebelumnya, Masyarakat Dayak Borneo akan  menggelar Kongres Borneo Raya (KBR) yang akan dihadiri seluruh organisasi dan lembaga adat Dayak.

Jadwal kongres termasuk kemungkinan referendum di Kalimantan terkait keberadaannya di NKRI mengingat masyarakat Dayak adalah pemilik tanah leluhurnya, Pulau Borneo.

"Pemicu kongres besar ini sudah termasuk tidak dipedulikannya aspirasi dan hak adat orang Dayak terkait keberadaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di mana, orang Dayak dianggap tidak ada oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo," kata sebuah sumber yang enggan disebut namanya dilansir Kalbar-Terkini.com, Rabu (30/3/2022).

Baca Juga: Muhammadiyah Ingin Dirikan Kantor hingga Fasilitas Kesehatan dan Pendidikan di IKN

"Padahal, IKN yang akan dibangun secara bertahap selama puluhan tahun, harus merangkul orang Dayak di Pemerintah Otorita IKN Nusantara, setidaknya untuk orang kedua di IKN dan deputi, tapi ternyata suara kami dinafikan. Padahal, pembangunan IKN secara jangka panjang akan mengalami konflik-konflik sosial," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Jadi, buat apa kami menghargai pemerintah pusat, saat aspirasi kami tidak didengar? Kami dianggap tidak ada, sehingga saatnya orang Dayak menentukan sikap yang tegas," lanjutnya.

Sementara itu, menurut Aju Dismas, Pemimpin Redaksi DIO-Tv.com, portal berita milik Dayak International Organization (DIO), bahwa kebudayaan akan dibentuk seperti apa, ini sangat tergantung dengan pilihan masyarakatnya.

"Jika masyarakat menginginkan kebudayaan yang berkarakteristik religius, maka dasar yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai religius, spiritual dan sebagainya," kata Aju.

Karena itu, menurut penulis buku sejarah yang juga mantan wartawan koran sore Sinar Harapan, Jakarta, dapat dipahami bahwa secara esensial, kebudayaan itu sangat tergantung dengan keinginan masyarakat pemangku kebudayaan bersangkutan.

Baca Juga: Puan Maharani Setelah di IKN: Rumah Oke, Tidur Nyenyak

"Kebudayaan merupakan kekayaan esensial yang tidak hanya manusia individu sendiri-sendiri, tetapi pula sebagai kelompok sosial, bangsa dalam peranannya memberi nilai-nilai," katanya.

Reporter: Denny Setiawan

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU