Utopia Piagam Madinah

author optikaid

- Pewarta

Jumat, 08 Apr 2022 22:52 WIB

Utopia Piagam Madinah

i

Utopia Piagam Madinah

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="167"] Ruby Kay[/caption]

Dari jaman dulu manusia cenderung berpikir utopis, yaitu gambaran ideal tentang kehidupan sosial, politik dan hukum namun hal ini teramat sulit untuk diwujudkan. Berbagai cara dilakukan kaum intelektual untuk mewujudkan utopia, Socrates merenung, Plato dan Aristoteles merumuskan teori. Namun hingga kini utopia hanya sebatas angan yang sangat sulit diwujudkan.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Jika seseorang mendambakan kehidupan yang tentram, damai, adil, makmur, maka orang itu bisa disebut mengidap gejala utopis. Situasi dimana tak ada kegaduhan politik, rivalitas merebut tampuk kepemimpinan berjalan santun, tak ada perang, tak ada orang miskin, tak ada penyimpangan, yang eksis hanya kasih sayang pada setiap makhluk hidup. Maaf, itu semua cuma utopia yang bukan menjadi kodrat manusia.

Muslim tak boleh hanya berpikir utopis, karena Islam juga mengajarkan distopis, yaitu sadar dan bersiap untuk kemungkinan terburuk. Tahun 622 M, Rasulullah mencetuskan Piagam Madinah, sebuah konstitusi demokratis pertama didunia yang ditujukan untuk membangun civil society madani. Didalamnya termuat 47 pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia, tata kehidupan sosial, politik, hukum, pertahanan dan keamanan.

Piagam Madinah menjadi konsensus yang disusun Rasulullah bersama tokoh dari berbagai komponen masyarakat Madinah. Kaum Anshar dan Muhajirin diikat dengan perjanjian persaudaraan, sedangkan dengan kaum Yahudi, Rasulullah menjalin aliansi dan komitmen untuk menegakkan kebebasan beragama.

Kerennya Nabi Muhammad SAW itu ya disini. Ketika kaisar Romawi dan raja Persia masih menerapkan sistem kasta dalam sosio demografis masyarakat yang akhirnya melahirkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, perbudakan, kesewenang-wenangan hingga tirani mayoritas terhadap minoritas, di jazirah arab, seorang Rasul yang buta huruf mampu merumuskan konstitusi yang berisi kesetaraan hak dan kewajiban antar ummat beragama, mempersatukan golongan dan suku yang kala itu lebih suka menyelesaikan konflik dengan cara bar-bar.

Coba baca Piagam Madinah dari pasal 26 hingga 38, semuanya mengatur hak dan kewajiban orang-orang yahudi yang hidup di Madinah. Bukti bahwa Rasulullah tak cuma concern untuk mempersaudarakan anshor dan muhajirin, tapi juga mendamaikan ummat yahudi yang saat itu terpecah dalam beberapa klan/suku.

Sebagai konstitusi yang mengatur politik, hanya dua hal yang tidak ditulis dalam Piagam Madinah. Yaitu pembatasan masa jabatan khalifah/gubernur/kepala suku dan tata cara suksesi kepemimpinan.

Baca Juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Gue yakin Rasulullah memang sengaja tidak memasukkan dua hal itu dalam konstitusi Madinah. Baginda Nabi seakan memberi kebebasan kepada ummat setelahnya untuk mencari caranya sendiri-sendiri dalam memilih pemimpin. Demokrasi monggo, monarki oke, parlementer ayo, dipilih langsung oleh rakyat sah-sah saja. Mau menjabat seumur hidup dibenarkan, dibatasi 10 hingga 15 tahun silahkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tapi ingat, Rasulullah mengajarkan 1 poin utama. Klausul yang sudah disepakati wajib ditaati oleh seluruh stakeholder. Beliau sangat membenci orang yang punya sifat khianat, hal ini terbukti ketika 4 klan yahudi mengkhianati Piagam Madinah. Bani Qainuqa, bani Nadhir, bani Khaibar dan bani Quraizah tiba-tiba saja secara sepihak melepas diri dari konstitusi Madinah. Tak lama, Rasulullah langsung memerangi 4 klan yahudi tadi, tiada ampun bagi orang yang tak bisa menepati janji. Hal inilah yang menjadi prinsip utama Nabi Muhammad SAW saat diberi amanat sebagai pemimpin ummat.

Nah, pengkhianatan bani Israil terhadap Piagam Madinah itu menjadi distopia. Terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan oleh pemberontak muslim, perang saudara antar ummat Islam yang terjadi saat masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib juga bisa disebut sebagai distopia.

Nabi Muhammad SAW membangun peradaban awal Islam di jazirah arab dengan menegakkan sejumlah aturan. Inilah yang sering kita dengungkan sebagai "madani society", yang dipercaya muslim sebagai konstitusi paling ideal yang bisa membawa masyarakat pada kemakmuran, kesetaraan dan keadilan.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Sah-sah saja berpikir utopis, namun mesti diingat bahwa mewujudkan semua itu teramat sulit. Karena sudah menjadi kodrat manusia untuk selalu menuruti hawa nafsu. Perpecahan dan keruntuhan kekhalifahan Islam menjadi bukti bahwa utopia akan selalu diwarnai dengan distopia. Jadi jangan terlalu berharap akan terwujud lagi keadilan seperti dijaman baginda Nabi. Karena justice tak cukup hanya dengan mengimplementasikan sejumlah aturan, tapi juga mesti ditunjang dengan sosok yang disegani dan dihormati oleh setiap orang.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU