Bedanten Mengais dan Menata Kebesaran Medanten

Optika.id - Bedanten adalah nama desa kecil di Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Dari jalan nasional menuju desa ini harus melalui jalan kecil. Meski tergolong desa kecil, tapi Bedanten berada di tepi sungai besar, Bengawan Solo.

Di bagian hulu Bengawan Solo memiliki lebar antara 20-75 meter, di bagian tengah memiliki lebar alur antara 75-100 meter dan di bagian hilir memiliki lebar alur hingga 150 meter. Bengawan Solo membelah separuh dari pulau Jawa mulai dari Solo (Jawa Tengah) hingga ke Gresik (Jawa Timur) dengan panjang alur sekitar 500 kilometer.

Baca Juga: Karya HP Berlage: Gedung Singa dan Mijn Indiesche Reis

Desa Bedanten berada di bagian paling hilir dari Bengawan Solo. Setelah itu langsung bermuara di laut yang terkoneksi dengan perairan Nusantara dan laut lepas dunia.

Nama Bedanten sudah dikenal di era kerajaan Majapahit, tepatnya sejak tertulis dalam sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Canggu (1358 M). Adalah Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit (1350-1389) yang menorehkan nama Bedanten pada prasasti itu. Bisa jadi nama Bedanten sudah ada sebelum dicatat oleh Hayam Wuruk sebagai salah satu desa tepian sungai yang melayani jasa tambangan atau penyeberangan (naditira Pradeca). Tersebut dengan nama Medanten.

Memperhatikan letak geografis yang berada di muara Bengawan Solo, sebelum alur hilir dari Bedanten direkayasa mengalir ke utara ke arah Ujung Pangkah, Bedanten adalah etalase peradaban bandar sungai besar, yang sekaligus menjadi pintu masuk ke pedalaman pulau Jawa. Bahwa di Bedanten pernah disebut dalam beberapa literasi merupakan tempat industri kayu yang cukup besar pada eranya, kini tertinggal sebuah tempat yang bernama Balok'an.

[caption id="attachment_23762" align="alignnone" width="300"] Gerbang Bentar ke Pusat Budaya Bedanten. (Nanang for Optika)[/caption]

Sebuah babad Madura mengisahkan perjalanan rombongan pengantin beserta para pengikut dan pengiring dari keluarga kerajaan Solo yang akan meminang Puteri raja Madura. Mereka mengarungi Bengawan Solo sebagai media transportasi untuk menuju ke pulau Madura.

Al kisah di Bedanten inilah rombongan pengantin ini berhenti dan menginap sebelum melanjutkan perjalanan ke Madura. Ini adalah rombongan besar yang terdiri dari belasan kapal yang setiap kapal mengangkut sekitar 300 orang. Begitu kata pegiat sejarah desa Bedanten Basyori di komplek Balai Desa Bedanten pada Minggu (23/4/2022) siang.

Ratusan pengiring bukan jumlah kecil atau sedikit, tetapi mereka bisa transit di bandar Bedanten. Karenanya, di desa ini terdapat sebuah tempat yang bertoponimi bandar dengan nama Bandaran.

Temuan beragam fragmentasi, yang menunjukkan perangkat kebutuhan domestik mulai piring, mangkuk, tempayan, peripih hingga mata uang Cina, adalah bukti adanya peradaban di bandar Bedanten.

[caption id="attachment_23761" align="alignnone" width="300"] Benda-benda kuno di Bedanten. (Nanang for Optika)[/caption]

Pada tahun 1980-an pernah diketemukan secara tidak sengaja oleh warga satu tempayan berisi penuh uang kuno ketika sedang menggali tanah untuk pembangunan. Tapi sayang penemuan ini dijual. Kejadian ini sebelum warga menyadari akan pentingnya benda arkeologi terkait dengan Bedanten kuno," jelas Basyori.

Siang itu perangkat desa Bedanten Abdul Madjid (lurah), Ahmad Ubaidillah (sekretaris) dan pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas Pelestarian Makam Penggede Desa Bedanten sedang berkumpul berdiskusi mengenai potensi desa Bedanten yang sedang ditata untuk dikelola agar menjadi wahana edukasi yang bersifat rekreatif seperti desa wisata.

Dengan adanya makam makam kuno yang bertebaran di desa, kami sudah mulai merawat dan sekaligus memanfaatkan sebagai wahana wisata relegi. Sekarang, begitu kami menyadari bahwa desa Bedanten menyimpan sejarah peradaban maritim, maka kami berupaya menyelamatkan berbagai temuan kuno dan insyaallah temuan temuan itu akan kami tempatkan di sebuah museum desa yang sedang kami bangun," jelas lurah Bedanten Abdul Madjid.

Desa Bedanten memang sudah mulai mempersiapkan desanya menjadi desa wisata. Infrastruktur desa satu persatu sudah mulai dibenahi. Salah satunya adalah perbaikan dermaga sungai untuk bongkar muat komoditas perikanan dan jalur transportasi sungai.

Lingkungan permukiman penduduk juga sudah terlihat tertata rapi dan asri. Beberapa rumah warga masih berdiri dengan kontruksi dan arsitektur kunonya, terbuat dari kayu yang terawat baik.

Kami siap menyambut adanya agenda kegiatan di Bengawan Solo yang misinya sesuai dengan harapan desa Bedanten. Apalagi di lingkungan kantor Balai Desa sudah kita jadikan pusat budaya desa Bedanten. Di tempat inilah kegiatan tradisi Sedekah Bumi rutin kita adakan," tambah lurah Desa Bedanten.

Secara fisik lahan di komplek Balai desa tidak hanya telah disiapkan pembangunan sebuah museum desa, pusat budaya desa Medanten juga sudah dihiasi dengan gapura gapura bentar berlanggam terakota layaknya arsitektur khas Majapahit.

Menurut berbagai catatan dan sumber, desa Bedanten memang pernah menjadi pintu gerbang maritim kerajaan Majapahit, kata Basyori.

Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya

Surabaya dan Medanten Gerbang Maritim Kerajaan Majapahit

Prasasti Canggu (1358 M) adalah prasasti yang dikeluarkan oleh Hayam Wuruk, berangka tahun 1280 Saka atau 1358 Masehi. Prasasti ini adalah dokumen otentik yang memuat berbagai informasi mengenai transportasi air di mandala Jawa dan aturan-aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas tambangan atau penyeberangan yang dilakukan.

Nama nama desa penyedia jasa tambangan ini dicatat dalam sebuah piagam kerajaan yang selanjutnya disebut prasasti. Prasasti ini terbuat dari lempeng kuningan yang mulanya ada 5 buah. Namun yang tersisa hanya ada satu. Di lempeng yang tersisa inilah terdapat nama-nama desa tepian sungai yang menyediakan jasa tambangan yang disebut naditira Pradeca.

[caption id="attachment_23760" align="alignnone" width="300"] Warga dengan temuan fragmentasi benda benda kuno di Desa Bedanten. (Nanang for Optika)[/caption]

Nama-nama naditira Pradeca ini ditulis secara berurutan mulai dari aliran Brantas hulu ke hilir dengan Surabaya sebagai naditira Pradeca paling hilir. Kemudian secara berurutan disebut nama nama naditira Pradeca mulai dari hilir Bengawan Solo hingga ke hulu. Naditira Pradeca paling hilir adalah Bedanten (Medanten) dan paling hulu adalah Wulayu di Solo, Jawa Tengah.

Bedanten adalah desa paling hilir untuk alur Bengawan Solo. Sedangkan yang paling hilir untuk alur Brantas adalah Surabaya. Kedua desa kala itu: Surabaya dan Bedanten, memiliki fungsi sebagai bandar pelabuhan sungai yang sekaligus bersinggungan dengan laut sehingga keduanya menjadi gerbang maritim kerajaan Majapahit yang menghubungkan alur pedalaman dan lautan.

Sering dengan berjalannya waktu, Surabaya terus berkembang menjadi kota besar di Jawa, tetapi tidak demikian dengan Bedanten. Bedanten kehilangan pamor dan menjadi wilayah kecil, tetap desa, di tepian Bengawan besar.

Surabaya dari masa ke masa tetap menjadi pijakan perkembangan peradaban. Tetapi perkembangan peradaban di wilayah Gresik tidak bertahan di Bedanten. Ada pergeseran sentra peradaban, tepatnya ke selatan di Gresik yang langsung bersinggungan ke laut dalam.

Menjaga Peninggalan Masa Lalu

Peninggalan masa lalu Bedanten masih ada dan tersebar di beberapa tempat di desa ini. Berbagai peninggalan kuno telah diketemukan warga yang sebagian telah dijual keluar desa. Saat itu ketika di desa Bedanten belum ada pegiat yang peduli dan menyelamatkan kekayaan budaya Bedanden.

Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya

Kesadaran untuk penyelamatan nilai nilai budaya dan sejarah ini muncul tat kala mereka mendapati adanya makam makam tua yang tidak terurus. Letaknya sporadis menyebar di berbagai tempat di desa Bedanten. Di awal tahun 2000 an itulah sekelompok warga desa mulai mengidentifikasi makam makam tua yang tak bertuan. Mereka membersihkan dan menjaga makam makam itu karena mereka yakin bahwa makam makam tua itu adalah pendahulu warga Bedanten.

Sejak itu mereka meramaikan makam makam tua dengan kegiatan rutin di setiap makam. Misalnya diadakan rutinan pada malam jumat legian di kompllek makam Syayid Khusaini dengan bacaan istighosah, yasin dan tahlil. Lalu juga ada rutinan malam Jumat kliwonan di komplek makam Mbah Kumambang dengan bacaan istighosah, yasin dan tahlil. Masih ada lainnya yang bersifat tahunan berupa haul.

Setidaknya tercatat ada 11 makam tua di desa Bedanten. Mereka adalah Mbah Sayyid Husaini, Mbah Kamedum, Mbah Maskumambang, Mbah Umar Khottob, Mbah Sureng Pati, Mbah Ngabar, Mbah Tanglok, Makam Kuno I sampai IV. Untuk memakmurkan makam makam Penggede Bedanten, lantas mereka membuat jalur wisata relegi. Penulisan nama nama berdasarkan batu nisan yang bertulis. Sementara yang tidak ada inskripsi nisan hanya dicatat dengan nama Makam Kuno I hingga IV.

Berangkat dari Pelestarian Makam Makam Penggede Bedanten, kemudian mereka mulai melestarikan peninggalan sejarah dan budaya yang ada di Bedanten. Kegiatan penelusuran sejarah lebih intensif dimulai tahun 2017 dengan berkolaborasi dengan komunitas lainnya. Sejak itu mereka menghimbau warga bila menemukan benda benda kuno agar dilaporkan ke perangkat desa. Berangkat dari upaya ini maka sudah ada sejumlah temuan yang umumnya berupa fragmentasi gerabah, porselin dan mata uang kuno. Juga ada batu bata kuno dan peripih.

Fragmentasi ini akan didisplay di museum Desa," jelas Kepala Desa Abdul Madjid.

Selain benda benda bersejarah, komunitas ini juga mulai mendata obyek obyek kebudayaan untuk dimajukan sebagaimana amanah undang undang nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Semua potensi desa ini akan terwadahi dalam bentuk desa wisata.

Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi