Toleransi saat perayaan hari besar keagamaan

author optikaid

- Pewarta

Rabu, 04 Mei 2022 23:28 WIB

Toleransi saat perayaan hari besar keagamaan

i

Toleransi saat perayaan hari besar keagamaan

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="150"] Ruby Kay[/caption]

Setiap hari raya idul fitri atau idul adha, jalan Matraman Raya disamping gereja Koinonia (bahasa Yunani: persekutuan) yang berada dikawasan Jatinegara, Jakarta Timur selalu dipakai untuk menghelat sholat ied. Arus jalan akan ditutup sementara waktu untuk memberi kesempatan kepada ummat muslim melaksanakan ibadah.

Baca Juga: Kelahiran Imperium Arab-Islam

Pertanyaannya, bagaimana jika idul fitri atau idul adha kebetulan jatuh pada hari minggu? Dari berpuluh tahun yang lalu, pihak gereja Koinonia sudah menemukan solusi. Misa pagi yang biasanya dijadwalkan jam 06.00 akan diundur ke jam 10.00. Gak ribet, gak pake ribut. Ibadah ummat muslim maupun kristen tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Muncul lagi pertanyaan, bagaimana kalau hari raya Nyepi di Bali jatuh pada hari jum'at, hari minggu atau bertepatan dengan perayaan idul fitri dan idul adha? Sebagaimana kita ketahui, tak boleh ada keributan saat peringatan hari raya nyepi. Tiap orang baik itu ummat Hindu atau non Hindu dilarang menggunakan kendaraan, menghidupkan speaker atau memukul lonceng.

Namun dengan aturan ketat seperti itu, ternyata ummat Hindu di Bali tetap mengijinkan ummat muslim untuk menggelar sholat jum'at atau sholat ied. Walaupun seluruh pulau Bali sedang memperingati nyepi dihari minggu, ummat kristen tetap dibolehkan menggelar misa pagi. Dengan catatan, tak boleh memakai kendaraan bermotor untuk pergi ke gereja. Saat beribadah tak boleh menggunakan speaker, microphone atau lonceng.

Dan selama puluhan tahun, konsensus diatas sudah disepakati antara ummat Hindu Bali sebagai mayoritas dan Islam-Kristen yang minoritas. Toh hal itu hanya berlaku jika Nyepi jatuh pada hari jum'at atau minggu, bertepatan dengan perayaan idul fitri atau idul adha. Diluar situasi khusus itu ya bebas saja. Masjid dipersilahkan mengumandangkan adzan. Gereja diperkenankan membunyikan lonceng.

Baca Juga: Naipaul, Gusdur, dan Bagaimana Barat Memandang Islam?

Muncul lagi tukang nyinyir berwawasan sempit. "Orang Islam kalau beribadah suka nutup jalan raya yak. Itukan jalan umum, yang non muslim juga punya hak"

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hehehe.... gue suka ketawa kalau membaca nyinyiran tak berkelas seperti diatas. Dipastikan yang bersangkutan belum pernah ke Pontianak saat digelar perayaan Imlek. Beberapa ruas jalan protokol ditutup untuk memberi kesempatan kepada orang tionghoa merayakan tahun baru chinese. Hiasan lampion bertebaran dimana-mana, kota mendadak jadi berwarna merah.

Si nyinyir juga pastinya belum pernah ke Singkawang ketika dihelat pawai tatung dan pawai naga. Ia pasti belum pernah ke Manado atau Kupang ketika ummat kristiani disana menggelar aksi teatrikal mengenang penyaliban Yesus Kristus. Di Bali, tak perlu berkeluh kesah jika jalan protokol ditutup karena ada pawai ogoh-ogoh.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Coba kembangkan sikap objektif dan toleransi ke semua agama. Buka mata lebar-lebar, tak cuma muslim yang menggunakan jalan raya untuk memperingati hari besarnya. Toh event seperti itu gak terjadi setiap hari. Kalau tak mau terganggu, hiduplah ditengah hutan bersama monyet dan kera yang tidak beragama.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU