Optika.id. Jakarta. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, akhirnya melaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Moeldoko didampingi kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, tiba di Bareskrim Polri pukul 14 lebih, Jumat (10/09/2021).
Moeldoko dan timnya setiba di Bareskrim, langsung masuk ke ruang SPKT. Kehadirannya dimaksudkan untuk melaporkan ICW.
Beliau sekarang sedang memberikan laporan di ruangan SPKT Bareskrim," kata KombesPol Ahmad Ramadhan, Kepala Bagian Penerangan Divisi Humas Mabes Polri.
Setelah melaporkan ICW Moeldoko menjawab berbagai pertanyaan wartawan. Dia mengatakan keputusan melaporkan ICW karena tidak ada itikad klarifikasi dan permintaan maaf dari ICW dan Peneliti ICW Egi Primayogha. Atas hal tersebut maka Moeldoko meneruskan ke pengadilan.
Moeldoko mengungkapkan dirinya melalui kuasa hukum sudah memberi kesempatan untuk klarifikasi sebanyak 3 kali kepada ICW dan Egi. Namun kata Moeldoko tak ada itikad dari ICW dan Egi untuk mengklarifikasi dan minta maaf.
Dalam keterangan Moeldoko sebelumnya juga menyebut tuduhan ICW yang dialamatkan kepada dirinya merupakan cara-cara sembrono yang tak bisa dibiarkan.
"Kalau dibiarkan, akan merusak karena ini adalah membunuh karakter seseorang yang kebenarannya belum jelas, apalagi dengan pendekatan-pendekatan ilmu cocokologi, dicocok-cocokan. Ini apa-apaan ini. Sungguh saya tidak mau terima seperti ini," ujar Moeldoko dalam jumpa pers secara virtual, Selasa (31/8/2021).
ICW Sudah Jelaskan
Pihak ICW merasa sudah menjelaskan bahwa hasil penelitian ICW tidak menuding Moeldoko.
"ICW sudah berulang kali menjelaskan bahwa hasil penelitian ICW tidak menuding pihak tertentu manapun, terlebih Moeldoko, mencari keuntungan melalui peredaran Ivermectin. Hal itu telah pula kami sampaikan dalam tiga surat Jawaban somasi kepada Moeldoko melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan," kata Isnur, kuasa hokum ICW, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/9/2021). ICW telah menjelaskan bahwa dalam penelitiannya tersebut kerap dituliskan diksi "indikasi" dan "dugaan" sehingga tidak melakukan penuduhan secara langsung terhadap personal. Isnur juga mengatakan kalau Moeldoko salah dalam melihat konteks penelitian tersebut.
"Karena yang digambarkan ICW adalah indikasi konflik kepentingan antara pejabat publik dengan pihak swasta, bukan sebagai personal atau individu," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Isyarat Pemerintah Anti Kritik
Menurut Dr Abdul Azis, dosen Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang, laporan Moeldoko ke Bareskrim Polri itu merupakan isyarat pemerintah (setidaknya pejabat) anti kritik.
Kalo merasa benar, tidak perlu lapor-melapor. Undang saja ICW untuk diskusi dan adu data. Tapi, laporan Moeldoko justru memperkuat dugaan bahwa dia bersalah dalam konteks kasus itu,urai Azis dalam keterangannya pada Optika.id melalui whatsApp, pukul 15.30 WIB, Jumat (10/09/2021)
Saat ditanya, apakah tindakan Moeldoko melaporkan ICW ke polisi merupakan abuse of power? Azis menjawab bahwa pelaporan itu belum sampai ke tingkat abuse of power.
Tapi, jika Moeldoko bersalah dan terlibat, bisa disebut abuse of power; tindakan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan yang tidak proporsional atau bahkan utk kepentingan pribadi, keterangan dosen pengajar Ekonomi Politik ini lebih lanjut.
Menurut Azis, tindakan Moeldoko itu setidaknya mengganggu demokrasi, sebab bersifat dan potensial mengancam social control. Mengancam oposisi dari kalangan civil society. Sekaligus menempatkan negara menjauh dari prinsip2 demokrasi, katanya.
Lebih lanjut Azis menganggap ada kecenderungan tindakan Moeldoko bersifat menekan kalangan kritis.
Ia menjadi indikasi di mana negara tidak suka dikritik dan dikontrol. Ia ingin memonopoli kebenaran. Kebijakan dan tindakannya harus dianggap benar dan baik. Jika begitu, itu indikasi kuat negara sedang "berenang dalam lautan penyimpangan, urainya tegas. (Aribowo)
Editor : Pahlevi