Optika.id - Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro mengungkapkan apabila di pemilihan umum (pemilu) 2024 nantinya tanpa ada gangguan praktik yang distortif dan buzzer, maka pemilu akan berjalan aman dan nyaman.
"Bagaiamna kita memutuskan mata rantai perilaku yang menyimpang dan melanggar secara hukum. Karena dalam sejarah pemilu dan pilkada kita. Saya sebagai peneliti bisa mengevaluasi bagaimana praktik kecurangan itu menunjukkan tidak ada keterikatan yang kuat antara politik hukum kita dan praktik pemilu. Sehingga ujung-ujungnya berakhir dengan sengketa pemilu," kata Zuhro dalam webinar di Forum Insan Cita, Minggu (12/6/2022).
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Siti menyebut banyak sekali contoh sengketa pilkada di daerah tersebut terjadi akibat pilkada dijadikan suatu momen untuk masyarakat meluapkan emosi, kekecewaan, terhadap suatu pemerintahannya. Hal tersebut merupakan contoh nyata yang terjadi saat ini, akibat adanya pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2019 yang lalu.
"Semua kekacauan itu apakah mau diulangi lagi seperti pemilu dan pilkada serentak (2019) yang lalu. Dan kemungkinan akan kita ulangi lagi di pemilu 2024, bahkan serentaknya tidak main-main, bukan hanya untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden tapi juga ditambahkan disitu pilkada serentak di 270an daerah. Ini lebih luar biasa lagi," urainya.
Siti mengungkapkan, bagaimana buzzer bisa menjadi isu yang sangat krusial dalam meningkatkan proses demokrasi di pemilu kedepannya. Ia menganggap buzzer merupakan faktor yang menghambat proses demokrasi yang ideal dan lebih baik.
"Buzzer sama sekali tidak muncul dalam pemilu di tahun 2004 dan 2009. Pada tahun 2014 mulai muncul dan sangat luar biasa. Dan ini juga harus kita kawal secara luar biasa supaya buzzer tidak mendapatkan tempat lagi," ungkapnya.
Siti menambahkan semua pihak harus segera mencari solusi agar buzzer tidak berkembang lagi di pemilu yang akan datang.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
"Jangan ada pembiaran untuk buzzer ini, apabila kita menghendaki bahwa pemilu kita tidak disortif lagi," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Peneliti Kajian Politik Litbang Kompas, Yohan Wahyu menjelaskan buzzer sendiri hingga saat ini memiliki perluasan makna, meski pada awalnya buzzer sendiri merupakan pasukan yang netral dan tujuannya hanya untuk membranding calon atau produk yang ingin dibangun citranya.
"Kalau kita belajar bahasa Indonesia artinya saat ini menjadi negatif karena selalu bersinggungan dengan isu-isu politik. Apalagi isu politik yang mengedepankan aspek-aspek hoax, kebencian, dan permusuhan disituasi yang negatif akhir-akhir ini," kata Yohan.
Lebih lanjut, ia mengatakan selama ini Litbang Kompas telah melakukan survei pada 24-29 Mei 2022 terkait polarisasi dan perkembangan menuju pemilu 2024. Sebanyak 1.004 responden telah diwawancara lewat sambungan telepon.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
"Jadi yang pertama ada keraguan dari publik terkait kondisi saat ini sudah semakin baik atau semakin buruk, tentang relasi antara dua kubu yang berseberangan. Sebagai imbas atau residu pemilu 2019 lalu. Sebanyak 45 persen bilang semakin baik tapi 40,3 persen bilang semakin buruk. Artinya terjadi keraguan apakah saat ini sudah semakin baik atau buruk. Jadi kelihatan seperti ada keraguan, publik mau bilang baik tapi realitasnya di media sosial ada tarikan terkait ketegangan itu masih ada," tandasnya.
Reporter: Denny Setiawan
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi