Buzzer Disebut Penghambat Demokrasi, Bagaimana Pemilu 2024?

author Jenik Mauliddina

- Pewarta

Senin, 13 Jun 2022 20:13 WIB

Buzzer Disebut Penghambat Demokrasi, Bagaimana Pemilu 2024?

i

Dok: Tangkapan Layar YouTube/Insan Cita

Optika.id - Indonesia memiliki sejarah empiris dalam pelaksanaan pemilu serentak legislatif dan eksekutif. Menuju pemilu serentak yang juga dibarengi dengan pilkada 2024, keberadaan Buzzer dinilai sebagai isu yang menghambat demokrasi di Indonesia. Mengapa demikian?

Peneliti Kajian Politik Harian Kompas, Yohan Wahyu mengatakan, Buzzer awalnya adalah kelompok netral yang digunakan untuk membranding sebuah produk. Namun, seiring berjalannya waktu mengalami penyempitan makna dan mengandung konotasi negatif ketika itu bersentuhan dengan isu-isu politik, hoax dan kebencian.

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

"Dengan adanya Buzzer perlu kita pertimbangkan dari banyak hal. Tidak mudah untuk menghilangkan Buzzer ini," ujarnya dalam diskusi pada forum Insan Cita, Minggu (12/6/2022) malam.

Pada penelitian Litbang Kompas  tanggal 29 Mei 2022, terhadap 1004 koresponden di 34 provinsi. Hasil survei menyebutkan, akibat pemilu 2019, Sebanyak 45 persen responden menyatakan hubungan pendukung antara dua kubu semakin membaik.

Sementara 40,3 persen  menyatakan hubungan antar pendukung kubu semakin memburuk. Sisanya menjawab tidak tahu.

"Yang kami baca, artinya masyarakat memiliki keraguan terhadap kondisi saat ini. Mau dibilang baik, realitasnya di media sosial ketegangan-ketegangan itu tetap ada tidak lepas dari residu pilpres 2019," jelasnya

Pada hasil survei tersebut juga menunjukkan mayoritas responden sebanyak 70,3 persen mengaku khawatir adanya ketegangan kedua kubu terulang kembali di pilpres 2024.

Sementara jika digali lebih dalam, maka muncul faktor yang menjadi atau memicu kekhawatiran ketegangan dua kubu. Paling banyak sebesar 36,3 persen memilih bahwa keberadaan influence. Buzzer, atau provokator yang memperkeruh suasana adalah yang paling dikhawatirkan.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Disusul sebanyak 21,6 persen mengatakan keberadaan informasi tidak lengkap, tidak benar dan kabar bohong (hoax) adalah yang membuat keterbelahan, ketegangan dua kubu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu saat ditanya apakah ketegangan dua kubu itu merusak demokrasi jawaban 79,1 responden mengatakan, ya itu merusak demokrasi. Itu menjadi peringatan dini bagi kita.

"Karena kita lihat di media sosial keterbelahan ini rasa-rasanya menjadi pemandangan sehari-hari di media sosial ketika ada isu tertentu, dimaknai kelompok A dimaknai seperti ini. Sementara di kelompok B wacana seragam seperti ini. Semua isu dinilai dari sisi partisipannya," imbuh alumnus universitas Airlangga itu.

Pada survei tersebut masyarakat setuju jika hal-hal yang memecah belah masyarakat perlu dihentikan. Solusi untuk permasalahan keterbelahan kubu usai pilpres 2019 adalah salah satunya menghentikan istilah Cebong, Kampret, Kadrun harus diakhiri sebab hal itu akan meruncingkan pembelahan.

Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Sebanyak 87,8 persen responden juga setuju bahwa harus ada tindakan tegas terhadap influence atau buzzer yang memperkeruh suasana. Selain itu, masyarakat mendorong adanya rekonsiliasi kedua kubu yang sering berseteru tersebut.

Reporter: Jenik Mauliddina
Editor Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU