Optika.id - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai Mahkamah Konstitusi (MK) gagal paham dalam memutuskan uji materi presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden. Lantaran semua gugatan yang masuk bernasib sama, yaitu ditolak.
Tebaru, MK menolak gugatan oleh pemohon Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) AA La Nyalla Mattalitti.
Baca Juga: Suhartoyo MK: Putusan Sengketa Pilkada Bisa Lebih Progresif!
MK gagal paham, patut dibubarkan! tegas Anthony seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Selasa (12/7/2022).
Anthony menjelaskan bahwa presidential threshold adalah kolaborasi partai politik untuk menyusun pemusatan kekuasaan. Tujuannya adalah menguasai eksekutif dan legislatif. Dalam istilah di dunia bisnis hal ini disebut sebagai kartel.
Pemusatan kekuasaan harus dibatasi, contohnya UU Antimonopoli, terangnya.
Untuk itu, sambung Anthony, kekuasaan politik juga harus dibatasi. Presidential threshold harus dibatasi maksimum, bukan minimum. Tujuannya, untuk menciptakan persaingan pilpres sempurna.
Kartel PT minimum 20 persen menciptakan tirani. MK bertanggung jawab menciptakan tirani di Indonesia, tukasnya.
[caption id="attachment_32289" align="aligncenter" width="729"] Tangkapan layar Twit Anthony Budiawan.[/caption]
Yusril Tak Bisa Berbuat Banyak
Diketahui, uji materiil norma ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang dimohonkan Partai Bulan Bintang (PBB) ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK tersebut pun membuat Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra tidak bisa berbuat banyak.
Yusril menceritakan, pihaknya sudah pernah menguji norma presidential threshold yang diatur di dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu pada tahun 2014.
Kala itu, Yusril memimpin langsung proses hukum yang berlangsung dan membantah dalil hukum MK yang menyatakan norma ambang batas konstitusional dan merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai open legal policy oleh pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR RI dan pemerintah.
"Saya sudah membantah pendapat itu sejak tahun 2014, dan menganggap bahwa open legal policy itu bukan hanya angkanya. Tapi menciptakan threshold itu sendiri merupakan open legal policy," ujar Yusril seperti dikutip Optika.id dari channel YouTube Hersubeno Arief, Selasa (12/7/2022).
Dalil terkait open legal policy norma ambang batas pencalonan presiden tersebut, ditegaskan mantan Ketua Komisi Yudisial ini tidak diperintahkan UUD 1945.
"Artinya itu inisiatif DPR dan pemerintah," imbuhnya.
Baca Juga: MK Sebut 106 Perkara Sengketa Pileg Akan Lanjut Pembuktian!
Dengan begitu, Yusril yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Sekretis Negara era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menyatakan, open legal policy bisa diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Sangat-sangat bisa (diuji MK). Baik suatu UU diciptakan karena perintah konsitusi, apalagi suatu UU diciptakan DPR dan Presiden tidak ada perintah konstitusi akan hal itu secara langsung. Tapi begitulah MK," tukasnya.
Kendati begitu, Yusril tak heran jika MK bersikukuh dengan pendapatnya bahwa presidential threshold yang diterapkan konstitusional, lantaran sebanyak 28 gugatan yang dilayangkan selalu ditolak.
Padahal, ia mengaku sudah menguji berdasarkan filsafat hukum dan teori-teori ilmu hukum, termasuk menggunakan logika bahasa hukum yang ada.
"Semua ilmu sudah saya tuangkan. Boleh dikatakan, saya seperti sudah kehilangan argumentasi hukum untuk menghadapi MK, karena pendapatnya yang kaku mengatakan bahwa Pasal 22 tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan sudah diuji 28 kali tidak diubah sampai sekarang," tandasnya.
Batasi Parpol Usung Kadernya Sendiri
Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun, menuturkan ditolaknya puluhan gugatan norma ambang batas pencalonan presiden atau presiential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap telah membatasi partai politik (parpol) mengusung kadernya yang potensial menjadi pemimpin.
"Dari sini saja cara berpikir MK tidak konsisten. Meminta parpol melaksanakan fungsi sebaik-baiknya, tapi slot untuk menjadi orang nomor 1 (di Indonesia) dibatasi, karena 20 persen (minimal perolehan kursi DPR RI) itu sudah pasti hanya 4 slot saja, tidak mungkin lebih," kata Refly saat menanggapi putusan MK terhadap Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang dimohonkan DPD RI dan Partai Bulan Bintang (PBB), seperti dikutip Optika.id dari channel YouTube-nya, Selasa (12/7/2022).
Baca Juga: Ini Prediksi Pakar Soal Putusan MK pada Sengketa Hasil Pilpres 2024
Sebagai contoh, Refly melihat 9 parpol yang mendapat perolehan kursi di DPR RI, setelah mengikuti Pemilu Serentak 2019, kesulitan mengusung kader potensialnya karena mesti membangun koalisi untuk memenuhi presiential threshold.
"Mereka, 9 parpol itu tidak bisa mengajukan kadernya sendiri sebagai capres ataupun cawapres karena dibatasi hanya 4 slot (karena pemberlakuan presidential threshold)," tuturnya.
Oleh karena itu, mantan Ketua Tim Anti Mafia MK era-Mahfud MD ini berkesimpulan bahwa, MK telah menyumbang kerugian dari norma ambang batas yang berlaku dan tertuang dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Jadi tidak mungkin parpol itu melakukan regenerasi kepemimpinan. Makanya Nasdem rasional tidak mengajukan kader partainya sendiri, tapi kader partai lain," tutupnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi