Said Didu Vs Stafsus Menkeu, Soal Utang Negara

author Seno

- Pewarta

Sabtu, 16 Jul 2022 15:38 WIB

Said Didu Vs Stafsus Menkeu, Soal Utang Negara

i

images - 2022-07-16T083818.508

Optika.id - Sebelumnya mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu menyebut, kondisi ekonomi Indonesia ditaksir telah memasuki fase kritis. Seperti yang terjadi di beberapa negara. Hal ini tampak dari paparan dan hitungan Said Didu, terkait beban utang negara dengan produk domestik bruto (PDB).

Perhitungan tersebut disampaikan Said Didu dalam unggahan di akun Twitter-nya, merespons pemberitaan internasional yang menyebut 5 negara selain Sri Lanka dalam kondisi krisis ekonomi.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Melemah di Tahun Pemilu?

Lima negara itu adalah El Salvador yang mencatat defisit 5,5 persen dengan Debt to GDP 87 persen; Zambia defisit 10 persen dengan Debt to GDP 123 persen; Lebanon defisit 20 persen dengan Debt to GDP 210 persen; Pakistan defisit 9 persen dengan Debt to GDP 74 persen; dan Ghana yang defisit 12 persen dengan Debt to GDP 76 persen.

"Indonesia defisit 4,5 persen, rasio utang terhadap PDB (Debt to GDP); pertama rasio terhadap utang langsung pemerintah sekitar Rp 7 ribu triliun atau sekitar 39 persen," kata Said seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya @msaid_didu, Jumat (15/7/2022).

"Kedua, rasio terhadap utang tanggung jawab negara atau utang publik (pemerintah+BUMN+BI), sekitar Rp 13.500 triliun atau sekitar 75 persen. Semoga bisa selamat," harapnya.

Paparan Said Didu tersebut langsung mendapat respons dari staf khusus (stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo.

Prastowo membalas cuitan Said Didu dengan nada nyinyir, dan menilai hasil perhitungan mantan Komisaris PT Bukit Asam itu tidak sesuai dengan rumus yang dipakai pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Bikin rumus rasio sendiri ya Pak ketika rasio kita relatif lebih rendah dibandingkan negara lain. Boleh tahu acuannya Pak?" kata Prastowo.

Said Didu pun membalas nyinyiran Prastowo dengan menyampaikan dasar hukum yang dia pakai dalam menghitung rasio utang terhadap PDB.

Didu menekankan, rasio utang terhadap PDB tergantung pada pembaginya. Pembagi bisa hanya utang langsung pemerintah, bisa juga seluruh utang yang jadi tanggung jawab negara. Yakni utang pemerintah, BUMN, dan Bank Sentral.

"Tergantung UU Keuangan masing-masing Negara," tegasnya.

Baca Juga: Sentil Jokowi, Said Didu: Rakyat Sudah Pusing Disuguhi Kebohongan, Janji Palsu dan Drama!

Maka dari itu, Didu meminta Prastowo untuk tidak men-judge poin kedua perhitungan rasio utang yang dipaparkannya adalah tidak tepat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pasalnya, dia ingat bahwa perhitungan rasio utang terhadap PDB sebelum hadirnya UU Keuangan Negara tahun 2003, pembagi utang digabungkan, yakni utang pemerintah, utang BUMN, dan Utang Bank Indonesia.

"Kenapa indikator butir 2 dimunculkan? Karena tidak semua negara yang gunakan rasio utang terhadap PDB memisahkan utang pemerintah, BUMN dan utang Bank Sentral, tergantung UU-nya," paparnya.

"Sebelum UU Keuangan Negara Tahun 2003 kita juga masih menyatu (utang pemerintah, BUMN dan utang Bank Sentral). Siapa tahu rasio mereka (negara yang terancam krisis) tinggi karena hal tersebut belum dipisahkan," imbuh Didu.

Namun, dalam kolom balasan, Prastowo masih ngotot bahwa indikator kedua yang dipaparkan Said Didu tidak tepat dalam mengukur potensi krisis ekonomi Indonesia.

Justru dia menyatakan, di antara negara-negara yang dibandingkan, defisit fiskal Indonesia termasuk paling terjaga, dan rasio utang juga termasuk yang terendah.

Baca Juga: Utang Pemerintah Capai Rp 7.733 Triliun di 2022, Ketua DPR: Masih Aman

Sehingga Prastowo menilai, penggabungan nilai utang pemerintah, BUMN, dan BI dalam pembagian rasio utang terhadap PDB hanya bumbu-bumbu yang menakutkan, seolah rasio utang tampak besar.

"Padahal standar internasional yang digunakan tidak demikian. Penghitungan rasio utang dilakukan dengan standard yang sama, apalagi lembaga rating pun menilai dengan ukuran yang sama. Dengan semakin transparannya data dan informasi, standardisasi pun semakin baik. Jadi dipastikan tak ada perbedaan tiap negara," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU