[caption id="attachment_19035" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Ruby Kay[/caption]
Optika.id - In my humble opinion, polemik yang terjadi disejumlah wilayah terkait pendirian rumah ibadah semata-mata terjadi karena miskomunikasi. Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah, usaha persuasif dari tokoh agama dan masyarakat untuk memberikan awareness kepada seluruh ummat beragama.
Baca Juga: Persidangan Sambo dan Misteri Pembunuhan 6 Orang Laskar FPI di KM 50
Mayoritas penduduk negeri ini menganut agama Islam. Tapi tak bisa dinafikan juga ada ummat agama lain. Dan tentu semua pihak ingin hidup dalam harmoni, jangan sampai gegara hal sepele pun akhirnya menjadi friksi. Mayoritas jangan arogan, minoritas jangan pula semau gue.
Peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 sudah jelas mengatur tentang tata cara pendirian rumah ibadah. Beberapa poin penting didalam aturan itu adalah:
1. daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang dan disahkan oleh pejabat setempat.
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit harus berjumlah 60 orang dan disahkan oleh lurah atau kepala desa.
3. Harus menyertakan rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
4. Rekomendasi tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aturan itulah yang mesti dijadikan pedoman. Misalkan gue pengusaha kaya raya, tinggal di kota Manokwari, Papua, yang pemerintah kabupatennya menerapkan perda injil karena mayoritas penduduknya beragama kristen. Punya uang ratusan miliar rupiah dan sebidang tanah bersertifikat bukan berarti gue bisa ujug-ujug mendirikan masjid. Sekaya apapun mesti taat dengan peraturan pemerintah tadi. Lihat dulu lingkungan sekitar, ada berapa banyak orang muslim dikota Manokwari. Kalau jumlahnya sudah mencapai ratusan atau ribuan orang dan mereka setuju untuk didirikan masjid, berarti satu tahapan sudah terlewati.
Baca Juga: Langkah Anies di Antara Politisi Tua
Selanjutnya tinggal menjalin komunikasi intens dengan kalangan ummat kristen dikota Manokwari. Dekati pastor dan pendeta, jalin komunikasi intens dengan kepala suku dan tokoh masyarakat setempat. Sampaikan keinginan kepada mereka bahwa ummat muslim memerlukan masjid untuk sarana beribadah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan sebagai minoritas gue mesti menyampaikan hajat dalam suasana santai yang diiringi dengan canda tawa. Mungkin permohonan itu bisa dibungkus dengan acara silaturahmi dan makan malam bersama. Bisa jadi ada permintaan khusus dari warga kristen Manokwari, boleh mendirikan masjid tapi mereka minta tolong untuk membenahi atap gereja yang sudah bocor. Setelah dikalkulasi, ternyata biaya untuk merenovasi gereja tadi gak sampai 100 juta. Maka gue sebagai pengusaha muslim yang kaya raya gak akan berpikir panjang. Anggap aja biaya itu sebagai dana CSR. Yang penting masjid bisa segera didirikan, gereja pun bisa kembali difungsikan. Warga Muslim dan Kristen senang, mereka akan menganggap gue sebagai pengusaha dermawan, gak hitung-hitungan.
Tapi bayangkan kalau sebagai pengusaha kaya raya gue tidak pernah berbaur, rumah diberi pagar tinggi, hidup ekslusif, tak pernah bertegur sapa dengan orang kristen, hanya bergaul dengan orang-orang muslim saja. Saat mau mendirikan masjid gue mengedepankan egoisme, acuh tak acuh dengan kondisi sosial disekeliling. Toh syarat pertama dari peraturan pendirian rumah ibadah sudah dikantongi, karena ada ribuan muslim yang memang memerlukan masjid.
Well, kalau berprilaku seperti itu, jangan harap ummat kristen yang mayoritas akan setuju. Yang ada mereka akan resisten saat komunitas muslim berencana mau mendirikan masjid.
Baca Juga: Aisyah dan Pernikahan Zaman Dahulu
Analogi yang sama juga berlaku bagi orang-orang Kristen yang menjadi minoritas disebuah wilayah. Sedang hangat berita tentang penolakan warga muslim terhadap rencana pendirian gereja di kota Cilegon, Banten, oleh komunitas orang kristen yang ada disana.
Yang begini mesti hati-hati melihatnya. Perlu dianalisa apa yang melandasi penolakan itu? Bisa jadi yang menginisiasi pendirian gereja belum melakukan pendekatan dengan komunitas muslim di kota Cilegon. Bisa jadi sosialisasinya kurang baik.
Begitulah, kita mesti tahu diri bila menjadi minoritas. Mendirikan rumah ibadah tak cukup hanya dengan uang dan sebidang tanah bersertifikat. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana komunikasi dengan mayoritas selama ini. Selama ini pernah bertegur sapa gak? Hadir gak kalau diundang hajatan? Apa yang pernah kalian lakukan buat warga sekitar? Renungkan dulu semua itu, karena resistensi pasti ada pemicu.
Editor : Pahlevi