Optika.id, Surabaya - Sistem pemilu dan demokrasi yang ideal masih belum tercapai hingga saat ini. Padahal hal tersebut sudah dicita-citakan sejak pasca orde baru.
Sistem pemilu yang berjalan hingga saat ini hanya mementingkan mengkonversi suara rakyat menjadi sebuah kursi di pemerintahan.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Ramlan Surbakti dalam webinar di kanal youtube Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dengan tajuk "Gerakan Sosial Demi Demokrasi" pada Rabu (14/9/2022).
"Padahal sebenarnya ada tujuan lain dari sistem pemilu, saya di berbagai kesempatan selalu bilang terlalu mahal kalau pemilu itu, hanya memilih wakil rakyat dan penyelenggara negara," kata Prof Ramlan.
"Ada tujuan lain yang lebih penting dan itu sudah diadopsi oleh undang-undang pemilu. Jadi pemilu fungsinya sebagai instrumen demokratisasi sistem politik dan partai politik macam apa yang kita bangun, sistem kepartaian apa yang kita bentuk, sistem perwakilan apa yang kita mau bentuk, dan terakhir sistem pemerintahan apa yang mau kita bangun," imbuh Guru Besar FISIP (Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik) Universitas Airlangga Surabaya ini.
Hal itu semua sudah disebutkan dalam UU Pemilu no 7 tahun 2017 yang berlaku sekarang. Karena itu, ketika pemerintah mengatakan tidak akan merevisi undang-undang pemilu karena dianggap sudah bagus.
"Apanya yang bagus coba, kalau memilih presiden dan dprd iya tapi untuk yang lain apa," tegasnya.
Kedua, fungsi pemilu itu tidak berhasil karena sistem pemilu proporsional terbuka yang kita adopsi saat ini terlalu campur aduk. Sistem pemilu campuran ada seperti yang diterapkan di Jerman, Jepang, Filipina, dan Selandia Baru.
Baca Juga: Netizen Respon Upaya Anies Dirikan Partai, Ini Penjelasannya!
Dalam UU Pemilu no 7 tahun 2017 sistem kepartaian itu disebut sistem kepartaian multi sederhana. Hal tersebut tidak ada dalam literatur ilmu politik. Dalam ilmu politik lebih dikenal dengan sistem kepartaian pluralisme moderat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Bahwa hubungan partai dan calon pemilih itu, hubungan representasi dan akuntabilitas. Jadi bukan bedasarkan uang dan sembako. Yang sering terjadi pada partai politik kita adalah lebih ke pengorganisasian pengurus daripada anggotanya. Karena anggota partai sama sekali tidak punya peran dalam partainya," ungkap Mantan Ketua KPU periode 2004-2007 tersebut.
Lebih lanjut, Prof Ramlan menyebut anggota partai politik hanya dibutuhkan jelang pendaftaran partai politik seperti saat ini.
"Anggota hanya diperlukan untuk mendaftar ke KPU sebagai syarat agar bisa menjadi peserta pemilu. Ketentuannya kan harus punya anggota seribu orang atau seper seribu dari jumlah penduduk setiap kabupaten dan kota," tandasnya.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Reporter: Denny Setiawan
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi