[caption id="attachment_24795" align="aligncenter" width="150"] Achmad Surya Hadi Kusuma
(Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur)[/caption]
Optika.id - Tanggal 1 Oktober selalu diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila, tapi tahun 2022 ini berbeda, ada insiden berdarah di Stadion Kanjuruhan, Kota Malang yang mana ratusan orang meninggal usai pertandingan antara rival abadi, Arema dan Persebaya. Dalam kontestasi itu, Persebaya menang dengan skor 3-2, tak lama kemudian Kanjuruhan pun memanas.
Baca Juga: Korban Kanjuruhan Mengeluh Diadu Domba Dengan Warga Surabaya
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur (Kapolda Jatim) Irjen Nico Afinta menyampaikan, penembakan gas air mata ke para suporter sudah sesuai dengan prosedur yang bertujuan menghalau para suporter yang masuk ke lapangan dan melakukan kekerasan, ini baru pernyataan dari pihak polisi, Aremania perlu mengeluarkan pernyataan juga agar tidak terkesan disalahkan oleh polisi atas kejadian 1 Oktober tersebut.
Melansir dari CNN Indonesia, kekacauan ini menyebabkan 174 orang. Tragedi ini melampaui insiden yang terjadi di Hillsborough di Inggris pada 1989 yang mengakibatkan 96 orang tewas.
Munculnya insiden ini membuktikan satu hal, bahwa negara tidak hadir bahkan untuk mengamankan dan menyelamatkan masyarakatnya. Sepak Bola adalah olahraga hiburan utama dari masyarakat Indonesia, apalagi loyalitas suporter yang luar biasa dari sejumlah klub sepak bola di Indonesia juga perlu menjadi perhatian.
Kejadian yang nahas di Stadion Kanjuruhan Malang menunjukkan bahwa pemerintah sendiri gagal untuk menyediakan keamanan dan pengayoman pada warga negaranya. Mari didefinisikan terlebih dahulu apa itu negara.
Menurut Profesor Miriam Budiardjo, negara ialah organisasi yang ada di dalam suatu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya yang sah terhadap semua golongan kekuasaan yang berada di dalamnya dan dapat menetapkan berbagai tujuan dari kehidupan tersebut.
Dari definisi di atas, negara dapat memaksakan kekuasaannya, namun tetap harus dibatasi dan memperlihatkan kemampuannya dalam mengelola masyarakatnya. Ketika ada korban jiwa dalam acara olahraga, seharusnya negara bisa menunjukkan keberadaannya bukan dengan sekedar menembakkan gas air mata, yang ternyata dilarang oleh organisasi sepak bola dunia atau FIFA melalui Aturan Keamanan atau Keselamatan di Stadion pada pasal 19b.
Namun polisi masih berkilah dengan menyampaikan bahwa tindakan itu dilakukan karena upaya pencegahan masih tidak berhasil. Mungkin aparat di Indonesia tidak paham aturan dari FIFA karena menggunakan Bahasa Inggris, bukan Bahasa Indonesia. Perlu dipertanyakan, kenapa sampai tidak berhasil? Lalu, apa yang dimaksud sebagai tindakan pencegahan itu? Bagaimana wujudnya? Nampaknya juga tidak dibeberkan secara rinci.
Karena insiden ini berkaitan dengan keamanan, maka polisi menjadi pemeran utama dalam panggung. Harusnya polisi sudah mengantisipasi jauh sebelum insiden itu mulai terpercik dan melakukan forecasting, apa saja yang berkemungkinan terjadi, apalagi ini pertandingan antara dua rival abadi.
Maka dari itu, PSSI pun sebagai pihak yang paling otoritatif harusnya sudah memprediksi hal ini, maka dari itu, ini bukti lagi ketidakpedulian negara terhadap masyarakatnya. PSSI hanya muncul sebagai ajang kongkow yang kurang otoritatif, harusnya mereka memperingatkan kepolisian juga agar tidak menggunakan gas air mata sebelum acara dimulai, seperti yang ada di peraturan FIFA di atas.
Baca Juga: Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Menyesalkan Tidak Ada Siaran Langsung Proses Peradilan
Anehnya, Bonek sendiri tidak datang ke Stadion Kanjuruhan, sehingga kejadian ini memang bukan gesekan antar suporter. Kasus ini terhitung sebagai konflik vertikal, bukannya malah melindungi dan mengelola masyarakat, tapi negara justru melakukan kekerasan melalui gas air mata itu. Tidak lupa, identitas para suporter ini juga merupakan identitas politik karena mereka memberi basis dukungan terhadap wilayahnya masing-masing, sehingga suara mereka pun harus didengar oleh para pejabat negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah kantor berita juga menunjukkan bahwa mereka yang tewas dalam insiden berdarah itu mayoritas dikarenakan sesak nafas akibat dari penumpukan penonton yang berusaha keluar stadion. Masih belum ada kejelasan hasil forensik terhadap mereka yang tewas sehingga masih berupa asumsi saja.
Asiknya, kantor berita di Indonesia langsung saja menerima semua informasi dari pemerintah, tidak ada yang melakukan investigasi sendiri. Tidak ada pendekatan kritis terhadap insiden ini dari media massa.
Maka dari itu, saya menyarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur (DPRD Jatim) untuk memanggil dan meminta penjelasan dari Kapolda Jatim Irjen Nico Afianto guna memberikan penjelasan yang rinci mengenai apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang.
Ketika pemaparan tersebut, baik DPRD Jatim maupun Kapolda harus siap dengan data-data, terutama dari video yang terverifikasi di lapangan bahwa ada tindakan represif dari pihak penegak hukum, hal ini harus dibuktikan dengan data yang kuat. Adapun media massa harus menggali lebih dalam kasus ini karena mereka akan menjadi rujukan dalam permasalahan ini, bukan sekedar menerima hasil siaran pers atau menghadiri konferensi pers, dampak dari tragedi ini juga harus disuguhkan sehingga negara tahu apa yang terjadi ketika mereka berlebihan dalam bertindak.
Baca Juga: Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Panpel dan Security Officer Tak Ajukan Eksepsi
Adapun sekarang waktunya PSSI untuk menunjukkan posisinya sebagai koordinator sepak bola seluruh Indonesia guna menyelesaikan permasalahan ini, termasuk memberikan informasi yang objektif dan siap bertanggung jawab, tidak sekedar melempar ke lembaga atau pihak lain.
Tak lupa, saya beserta seluruh keluarga besar Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur menyampaikan turut berduka cita kepada para korban dan keluarganya. Semoga hal semacam ini tidak terjadi lagi di masa depan dengan kehadiran konkrit negara dalam ranah olahraga sekalipun.
Penulis: Achmad Surya Hadi Kusuma (Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi