[caption id="attachment_8824" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]
Optika.id - Tulisan Prof. Ahmad Humam Hamid dari Unsyiah baru-baru ini tentang peran Surya Paloh sebagai wali politik Anies Baswedan menarik dicermati. Deklarasi pencapresan Anies oleh Nasdem 3 Oktober yang lalu seolah mengakhiri status yatim politik Anies selama ini. Melalui tradisi Aceh tueng bila, sebagai orang Aceh Paloh menyatakan bahwa dia siap pasang badan menghadapi siapapun yang berniat mengganggu Anies. Sebagai bakal calon presiden, Anies memiliki cukup rekam jejak yang boleh mengantarkannya sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan.
Baca Juga: Intip Hangatnya Pertemuan Anies, Pramono, dan Rano di Lebak Bulus
Namun segera harus dicatat bahwa sejak MPR digusur dari posisinya sebagai lembaga tertinggi negara melalui penggantian UUD45 menjadi UUD2002, tidak cuma Anies yang menjadi yatim politik, seluruh rakyat Indonesia pun menjadi yatim politik. Tidak ada lagi yang bisa melindungi rakyat dari perundungan politik justru oleh partai politik sendiri yang melalui UUD2002 itu praktis telah merampas hak2 politik rakyat melalui Pemilu. Pemilu telah menjadi alat legitimasi kekuasaan partai politik untuk terus melakukan perundungan atas pemilihnya sendiri melalui berbagai maladministrasi publik. Berbagai UU dibuat bukan untuk kepentingan rakyat pemilih, tapi untuk kepentingan para elite parpol dan para taipan yang menyediakan logistik bagi partai2 politik itu.
UUD2002 dan berbagai UU politik turunannya telah membuka peluang monopoli radikal politik oleh partai politik. Demokrasi Indonesia menjadi demokrasi lontong sayur yang menghilang begitu hajatan Pemilu selesai. Dengan data pemilih yang acakadut, keamanan data pemilu yang meragukan, rakyat pemilih harus menghadapi para bandit politik yang disokong para bandar politik untuk menerima apapun hasil Pemilu yang diselenggarakan oleh para badut politik. Begitulah Pemilu menempatkan rakyat pemilih menjadi jongos politik, lalu segera menjadi yatim politik yang memilukan. Oleh karena itu penting untuk diwaspadai, bahwa siapapun presidennya, keyatiman politik rakyat pemilih sertam kepiluan hidup yang menimpanya kemudian adalah konsekuensi langsung dari arsitektur legal perpolitikan nasional saat ini.
Kita tahu bahwa negara yang kuat hanya mungkin dibangun olen masyarakat sipil yang mandiri, cerdas, dan merdeka. Masyarat sipil seperti itu tidak mungkin diawaki oleh warga negara yang yatim politik apalagi harus menghadapi polisi yang intimidatif, dan brutal sebagai alat kekuasaan serta instrumen kriminalisasi lawan2 politik penguasa. Setelah skandal Sambo, skandal Kanjuruhan menjadi bukti paling mutakhir kebrutalan polisi.
Baca Juga: Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula, Anies Buka Suara
Supremasi sipil harus dimulai dengan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesuai UUD45. Sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat, MPR akan menjadi wali politik bagi bangsa yang majemuk dan hidup dalam bentang alam kepulauan bercirikan Nusantara seluas Eropa ini. Presiden hanya mandataris MPR yang diberi amanah untuk menjalankan GBHN, bukan petugas partai untuk memenuhi kepentingan para bandar politik. Melalui permusyawaratan oleh para wakil rakyat itulah dipastikan bahwa Republik ini mampu menjalankan misinya bagi Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apapun hasil Pilpres 2024 sudah pasti harus sesuai skenario yang sudah disiapkan dan direstui oleh para bandar politik. Anies bisa terpilih bisa tidak. Bagi para bandar politik, kepresidenan Anies tidak banyak membawa masalah asalkan sebagai Presiden Anies mau mengakomodasi banyak kepentingan para bandar politik itu. Apakah sebagai presiden kelak, Anies memiliki keberanian yang cukup untuk mengakhiri keyatiman politik rakyat pemilihnya ?
Baca Juga: Anies dan Ganjar akan Hadir dalam Pelantikan Prabowo-Gibran Minggu Besok
Gunung Anyar, 6 Oktober 2022
Editor : Pahlevi