Optika.id - Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mengungkapkan pihaknya menemukan 232 terpidana mati baru dalam periode 2019 2022 atau periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Angka tersebut menurut Gufron meningkat 174% sepanjang pemerintahan Jokowi sejak tahun 2014 menjadi 453 orang.
Baca Juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
"Jika dibandingkan dengan pendahulunya, 15 tahun masa pemerintahan BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, dan dua periode SBY, hanya terdapat 197 terpidana mati. Hal ini membuat jumlah terpidana mati di masa pemerintahan presiden Jokowi yang hanya delapan tahun, meningkat hingga 431%," kata Gufron dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (11/10/2022).
Mayoritas terpidana mati tersebut adalah mereka yang terjerat kasus narkotika. Sebanyak 180 orang terjerat kasus narkotika, 32 orang terlibat pembunuhan/pembunuhan berencana, 11 orang divonis mati sebab kasus pemerkosaan yang disertai pembunuhan, 2 orang divonis mati untuk kasus pemerkosaan, dan 7 terpidana lainnya divonis mati untuk kasus terorisme.
Kemudian, sebagian besar terpidana mati tersebut berjenis kelamin laki-laki. Yakni sebanyak 224 orang dan 7 orang lainnya berjenis kelamin perempuan, serta 1 orang yang tidak diketahui jenis kelaminnya sebab sulit sekali menemukan data resmi tentang para terpidana yang dihukum mati. Adapun dari kewarganegaraannya, ada 217 WNI dan 16 WNA yang mendapat vonis hukuman mati.
Gufron menyesalkan hukuman mati ini sebab 185 dari 232 terpidana mati tersebut divonis di tengah situasi Pandemi Covid-19.
"Sebuah ironi, disaat seluruh masyarakat di dunia mencoba untuk menyelamatkan nyawa, pengadilan di Indonesia malah membuat putusan untuk mencabut nyawa dengan pemberian hukuman mati melalui sidang yang dilakukan secara virtual (teleconference)," ujar Gufron.
Dari 185 terpidana yang divonis mati, 86% di antaranya divonis melalui sidang virtual sementara 14% lainnya divonis melalui sidang langsung dengan berbagai pembatasan yang dilakukan selama pandemi Covid-19.
Gufron menilai, sidang virtual jelas tidak bisa maksimal untuk mengungkap kebenaran materil dalam sebuah tindak kejahatan. Menurutnya, mencabut nyawa melalui sidang virtual sudah jelas tidak memberikan keadilan substantif bagi terdakwa, lebih dari itu juga tidak manusiawi.
Dia menyebut sistem peradilan di Indonesia masih butuh banyak perbaikan dan tidak sepatutnya menerapkan hukuman mati tanpa menyisakan ruang koreksi. Sebab, sudah banyak kasus hukuman mati dengan indikasi sesat peradilan atau (unfair trial) yang hingga sekarang masih belum ada titik temunya.
Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Oleh sebab itu, Imparsial mendesak agar Jokowi membentuk sebuah tim khusus yang bertugas mengevaluasi vonis hukuman mati yang dijatuhkan peradilan selama ini. Khususnya, selama masa pandemic sebab rawan dengan peradilan sesat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pihaknya juga mendesak kepada Jokowi untuk membentuk tim guna mengkaji berbagai permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati sekaligus dengan meninjau kondisi terpidana mati dalam Lapas. Tim tersebut juga harus memastikan berbagai langkah komutasi terhadap terpidana mati berdasarkan dengan hasil kajian tersebut.
Imparsial juga mendesak Ketua Mahkamah Agung serta Jaksa Agung guna memerintahkan jajarannya untuk menghentikan penuntutan serta penjatuhan vonis mati dalam proses persidangan yang dilakukan secara virtual/daring. Sebab, hal tersebut rawan dengan terjadinya kegagalan dalam memberikan keadilan materil/substantive.
Tak hanya itu, pemerintah juga didesak untuk melakukan serangkaian evaluasi terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya terhadap perkara kasus terpidana mati dengan memastikan dan menyediakan proses hukum yang adil, benar, dan akuntabel sehingga menutup celah peluang terjadinya kesalahan penghukuman.
Terakhir, mendesak pemerintah melakukan moratorium resmi dengan membatalkan semua rencana eksekusi mati pada masa yang akan datang dalam rangka untuk menghapus hukuman mati dari sistem hukum Indonesia.
Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi
Sebagai informasi, dalam tatanan moral dan hukum Internasional, hukuman mati mulai ditinggalkan, sebab dinilai tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta tidak terbukti menyelesaikan permasalahan maraknya kejahatan di suatu negara.
Sampai saat ini, ada 147 negara di dunia yang tidak mempraktikkan hukuman mati, baik karena sudah menghapus maupun melakukan moratorium. Kendati demikian, lembaga Imparsial mencatat Indonesia justru masih masuk ke dalam sedikit negara yang masih menjatuhkan vonis hukuman mati di berbagai tingkat pengadilan.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi