Jawa Timur Pasca Kanjuruhan, Butuh Kapolda Paham Budaya

author Seno

- Pewarta

Senin, 17 Okt 2022 03:44 WIB

Jawa Timur Pasca Kanjuruhan, Butuh Kapolda Paham Budaya

i

IMG-20221016-WA0034

[caption id="attachment_24795" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Achmad Surya Hadi Kusuma
(Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur)[/caption]

Optika.id - Sebelum memulai tulisan ini, izinkan saya berterima kasih kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo karena sudah bertindak tegas dengan memindahkan Irjen Nico Afinta yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur (Kapolda Jatim) menjadi Staf Ahli Bidang Sosial Budaya (Sahlisosbud), bagian dari tim staf ahli Kapolri. Jawa Timur memang berharap ada tindakan tegas pasca tragedi Kanjuruhan, karena memakan banyak korban jiwa.

Baca Juga: Pesan Kapolda Jatim ke KPU Usai Jenguk Petugas KPPS Sakit di RS Haji

Sepintas, Jawa Timur memang wilayah yang heterogen secara kebudayaan, yang pada umumnya dibagi menjadi beberapa jenis, yakni wilayah Mataraman, Pandalungan, dan Arek. Malang merupakan salah satu wilayah yang masuk ke dalam Budaya Arek, budaya yang pemberani dan egaliter. Pada titik tertentu, Budaya Arek dianggap sebagai budaya yang paling keras dibanding lainnya, bahkan dalam penggunaan bahasa, kerapkali menggunakan bahasa Jawa ngoko yang sama rasa dan sama rata. Selain Malang dan Surabaya, ada juga Gresik, Sidoarjo dan sebagian dari Lamongan yang menganut budaya ini.

Kejadian di wilayah yang menganut Budaya Arek akan membawa konsekuensi yang keras karena tuntutan yang semakin kuat dari masyarakat wilayah tersebut, belum lagi solidaritas dari kelompok lain di Jawa Timur, semakin membuat kepolisian harus melakukan perpindahan tersebut. Bisa dibilang, Budaya Arek adalah orang yang paling bebas, tapi tetap dengan tanggung jawab.

Adapun budaya Mataraman adalah kebudayaan yang terpengaruh oleh budaya dari Jawa Tengah, dalam kebudayaan ini, masih ada hirarki dalam berbahasa sehingga masyarakatnya bisa dibilang lebih halus dan tenang. Ragam kebudayaan di Jawa Timur ini perlu dipahami oleh semua pejabat dari luar yang akan menjabat di wilayah Jatim, tidak terkecuali dari kepolisian, yakni Kapolda.

Selain itu, pulau Madura juga masuk ke dalam Provinsi Jawa Timur yang mana masyarakatnya memiliki kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Masyarakat Madura adalah etnik pengembara yang memiliki kemampuan beradaptasi yang kuat, sehingga di sejumlah wilayah tertentu di provinsi ini muncul kebudayaan baru: Pandhalungan yang merupakan akulturasi dari budaya Jawa dan Madura.

Adapun Jawa Timur juga terdapat dua budaya lain yang kuat jika merujuk pada penjelasan dari Clifford Geertz dalam bukunya Agama Jawa yakni santri dan abangan. Di kawasan Tapal Kuda, kebudayaan santri sangat dominan sehingga juga banyak pondok pesantren yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU). Kaum Santri memiliki kedekatan dengan Islam entah secara tradisional maupun modernis.

Baca Juga: Sinergisitas Polda Jatim dan Muhammadiyah, Wujudkan Pemilu Aman Damai

Sementara itu, mereka yang dekat dengan budaya abangan lebih percaya kepada hal mistis tapi juga menjadi penganut lima agama yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Kelompok abangan memang tidak terafiliasi dengan kelompok tertentu dan kerap ditemukan di pedesaan, meskipun juga terdapat di daerah perkotaan. Hal tersebut tidak terlepas dari pembagian Max Weber terkait masyarakat patembayan dan paguyuban.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ragam budaya di Jawa Timur ini merupakan hal penting yang mana cara menghadapi atau mendekati masyarakatnya berbeda-beda, terlepas dari sesama warga negara Indonesia. Jika merujuk kepada pentingnya multikulturalisme, maka Jawa Timur dibutuhkan seorang pejabat, terutama untuk penjaga keamanannya, yang menahami mengenai ragam budaya mereka.

Jawa Timur sendiri, merupakan kawasan yang bisa dibilang toleran, karena tidak ada kekerasan berbasis Suku, Agama, Ras, dan Aliran (SARA) yang terjadi selama dua dasawarsa terakhir. Berbeda dengan kejadian kekerasan berbau SARA yang meletus pasca reformasi di sejumlah daerah di Indonesia.

Melihat sekilas mengenai provinsi ini beserta dengan masyarakatnya, Jawa Timur tidak membutuhkan kapolda yang memiliki banyak permasalahan, namun kapolda yang mampu menyelesaikan permasalahan, apalagi di masa setelah tragedi Kanjuruhan yang memakan banyak korban. Saya berhadap Jatim bisa mendapatkan kapolda berkualitas yang akan membantu kawasan ini berkembang scara ekonomi dan semakin aman.

Baca Juga: Kapolda Jatim Gandeng Muhammadiyah untuk Sinergi Jelang Pemilu 2024

Pendek kata, nampaknya tidak tepat memposisikan seorang pejabat kepolisian setingkat kapolda di tangan orang yang terlibat kasus narkoba, maka dari itu, diperlukan seorang kapolda baru yang lebih bersih dan dapat mengutamakan solusi ketika ada permasalahan keamanan, pastinya kita tidak membutuhkan pejabat polisi yang menyelesaikan masalah keamanan dalam keadaan tidak sehat (high).

Maka dari itu, keputusan Kapolri untuk mengganti calon kapolda Jatim yang baru dengan Irjen Pol Toni Harmanto merupakan keputusan yang baik, semoga calon kapolda yang baru ini tidak terjerat masalah lagi dan selamat datang di Jawa Timur.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU