[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]
Optika.id - Satu scene, yang menjadi lokasi pengambilan gambar (shooting) untuk film dokumenter kepahlawanan Surabaya November 1945 produksi TVRI Jawa Timur, FIB Unair, Begandring Soerabaia dan rekan komunitas sejarah, bertempat di Handels Vereneeging Amsterdam (HVA) yang kini sudah menjadi kantor PTPN XI di jalan Merak Surabaya. Gedung, yang diresmikan pada 1925 ini, menjadi saksi bisu peristiwa penyerbuan untuk perebutan senjata Jepang.
Baca Juga: Pengakuan Belanda dan Polemik Perang Revolusi Fisik
Di masa pendudukan Jepang, gedung ini memang dijadikan sebagai Markas Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur di bawah pimpinan Mayor Jenderal Iwabe. Setelah Jepang menyerah, akhirnya gedung ini dijadikan markas BKR Jawa Timur pimpinan drg. Mustopo.
[caption id="attachment_45064" align="aligncenter" width="788"] Para pejuang merangsek ke gedung HVA.[/caption]
Peristiwa perebutan (pelucutan) senjata oleh rakyat dan pejuang Surabaya inilah yang direka ulang untuk melengkapi alur cerita sejarah pertempuran Surabaya dalam rangka mempertahankan kedaulatan bangsa.
Reka adegan ini, sesuai cerita sejarah, menggambarkan serdadu Jepang, BKR dan pejuang rakyat serta serdadu Sekutu. Semua itu diperankan oleh pegiat pegiat sejarah yang terdiri dari komunitas Begandring Soerabaia, Reenactor Bangil, Jombangsche Reenactor, Drcreations Surabaya, Modjokerto Reenactor, Surabaya Combine Reenactor dan Green Ranger Reenactor.
Alur cerita dan reka adegan ini diarahkan oleh Kepala Bidang Pendidikan dan Latihan Begandring Soerabaia, Achmad Zaki Yamani, yang tandem bersama sutradara TVRI Andre Arisotya. Penjiwaan oleh para pegiat sejarah ini menghidupkan moment penyerbuan pejuang Surabaya ke markas Jepang.
Saya merinding melihat momen ketika aksi penyerbuan ke markas Jepang. Mereka penuh dengan rasa emosional. Mereka menjiwai, ungkap Zaki ketika melihat penjiwaan para pemain.
Apalagi melihat bendere Jepang, Hinomaru, naik berkibar di halaman gedung sebagai pertanda penguasaan aset oleh tentara Jepang. Kekuasaan Jepang atas gedung HVA berikut persenjataan Jepang ini berakhir ketika wakil bangsa Indonesia di Surabaya: polisi istimewa M Yasin dan drg Moestopo menemui jendral Iwabe.
Dalam reka adegan itu, Moestopo yang diperankan oleh Rudi Hartono dari Surabaya Combine Reenactor (SCR) mengatakan kepada Jendral Iwabe yang diperankan oleh Deddy Drcreation bahwa Ia meminta kepada pihak Jepang agar Jepang menyerahkan senjata senjata kepada pihak republik. Jika tidak, maka pihak pejuang akan melakukan perlawanan.
Selanjutnya polisi Istimewa M. Yasin, yang diperankan Deddy Angga, mengatakan bahwa senjata senjata itu tidak akan dipakai untuk menyerang Jepang tapi untuk mempertahankan kemerdekaan.
Senjata yang kami dapat tidak kami gunakan untuk menyerang Jepang tetapi akan kami gunakan untuk mempertahankan kemerdekaan, demikian kata drg Moestopo yang sedang negosiasi dengan pihak Jepang di markas tentara angkatan Darat Jepang, HVA.
[caption id="attachment_45063" align="aligncenter" width="788"] Mayor Jendral Iwabe (tengah) di markas angkatan darat Jepang di HVA dalam sebuah adegan pengambilan gambar film dokumenter Surabaya November 1945.[/caption]
Setelah pernyataan itu, Jendral Iwabe mengambil kain putih untuk dilambai laimbaikan dari atas balkon gedung sebagai pertanda Jepang menyerah. Senjata senjata milik Jepang yang tersimpan di ruang bawah (basement) pun mulai dilucuti. Senjata senjata ini terdiri dari senapan arisaka, karaben, pistol, granat, pelor, dan lainnya.
Baca Juga: Alasan Raja Belanda Minta Maaf Atas Perbudakan yang Dilakukan Bangsanya
Media Pembelajaran
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi para pemain, reka adegan untuk film dokumenter perjuangan Surabaya ini menjadi media pembelajaran. Mereka berasal dari beragam unsur. Ada komunitas sejarah, warga, guru, dosen dan mahasiswa. Melalui produksi film dokumenter ini, mereka dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman.
Satu lagi yaitu pelajaran sejarah dari kota Pahlawan Surabaya. Saya sebagai anak milenial bisa lebih mengetahui peristiwa bersejarah di kota pahlawan, khususnya bagaimana pejuang pejuang Surabaya memperoleh persenjataan untuk mempertahankan kemerdekaan, terang Sitti Nur Fawzhieahwati, mahasiswa Semester 3, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.
Bagi Sitti, asal Tulungagung, Surabaya adalah kota baru yang ditinggali seiring dengan diterimanya sebagai mahasiswi di Universitas Airlangga. Melalui pembuatan film dokumenter ini, ia dapat mengenal kota Surabaya termasuk lebih mengenal kiprah pejuang Surabaya. Bahwa dalam perang Surabaya yang puncaknya adalah 10 November 1945 bukanlah perang merebut kemerdekaan, tetapi mempertahankan kemerdekaan.
[caption id="attachment_45062" align="aligncenter" width="788"] Rizma (kiri) dan Sitti (kanan) pendukung film Surabaya 1945.[/caption]
Oh iya ya.., Indonesia kan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sementara peristiwa perebutan senjata di HVA ini terjadi pada Oktober 1945. Berarti ini aksi mempertahankan kemerdekaan, kata Sitti begitu menyadari isi alur sejarah yang ternarasikan dalam reka adegan ini.
Sementara Rizma Pujatirta, juga mahasiswa Unair dari fakultas Ekonomi, berharap ada kegiatan pendokumentasian sejarah Surabaya melalui pembuatan film sehingga semakin banyak sejarah Surabaya ini dapat disajikan ke publik. Selama ini sejarah Surabaya umumnya disanikan dalam format buku.
Baca Juga: Selama 10 Tahun Kota Surabaya Tidak Punya Wali Kota
Rizma Pujatirta adalah cucu pahlawan Surabaya, Roeslan Abdoelgani. Sebelumnya ia pernah ikut memerankan Oetari, anak Tjokroaminoto, dalam film dokumenter drama (dokudrama) Koesno, yang dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2022 masuk nominasi film pendek terbaik.
[caption id="attachment_45065" align="alignnone" width="300"] Negosiasi antara pihak Jepang dan Republik di dalam gedung HVA.[/caption]
Film-film sejarah tentang Surabaya ini akan menambah khasanah kepustakaan dan perfilman kota Surabaya.
Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi