Optika.id - Kandidat calon presiden (capres) di Pilpres 2024 digadang-gadang harus memiliki komitmen dalam menjaga Indonesia dan merawat kebhinekaan. Hal tersebut penting untuk memastikan tidak ada yang menggunakan narasi politik identitas atau politisasi agama hingga memanfaatkan kelompok radikal-intoleran guna mendapatkan keuntungan elektoral belaka.
"Capres 2024 haruslah yang memiliki komitmen tinggi dalam menjaga Indonesia, merawat kebhinekaan, menjaga integrasi nasional dan yang mampu melanjutkan program pembanguan Presiden Jokowi," ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, dalam keterangannya, Senin (21/11/2022).
Baca Juga: TKD KIM Surabaya Konsolidasi Perkuat Dukungan Prabowo-Gibran
Komitmen tersebut dikatakan penting oleh Petrus sebab saat ini Indonesia terancam oleh gerakan radikalisme yang menjamur dan banyaknya intoleransi di masyarakat. Kedua hal tersebut dikatakan olehnya sempat berpeluang menjadi perusak stabilitas, kondusifitas dan keutuhan Indonesia dengan memanfaatkan momentum pada Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2019 silam.
"Ini yang perlu disadari para kandidat capres 2024 kelompok radikal dan intoleran akan memanfaatkan setiap momentum politik untuk masuk ke kekuasaan," katanya.
Selain itu, Petrus menjelaskan jika partai politik harus memastikan untuk tidak mengusung kandidat capres yang rendah komitmen kebangsaan dan kebhinekaannya. Adapun peran partai politik ditengarai sangat penting karena parpol lah yang akan menentukan pasangan capres cawapres yang akan diusung pada Pilpres 2024.
"Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu khusus Pasal 222 telah menyebutkan dengan tegas pasangan capres-cawapres diusung parpol atau gabungan partai politik. Hal ini berarti, parpol mempunyai peran besar memastikan Pilpres 2024 digelar secara damai dan aman dengan mengusung pasangan capres-cawapres yang memiliki komitmen merawat Indonesia dan kebhinekaan," kata Petrus.
Sementara itu, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen R. Ahmad Nurwakhid mengingatkan kepada seluruh elemen bangsa soal potensi peningkatan gerakan radikalisme menjelang Pemilu serentak pada tahun 2024 yang dipicu oleh politik identitas berdasarkan agama atau politisasi agama.
Menurut Nurwakhid, potensi berbagai kelompok radikal-teroris ini memanfaatkan momentum pemilu selalu ada dengan memainkan isu politik identitas.
"Potensi selalu ada, kami hanya menjaga, meminimalisir supaya potensi-potensi tidak berkembang. Kami sudah membuktikan potensi ancaman terorisme, radikalisme saat ini bisa dieliminasi sehingga kemarin penyelenggaraan G20 bisa berjalan aman, lancar, dan sukses," tuturnya.
Cegah politik identitas
Nurwakhid menjelaskan, BNPT saat ini akan melakukan berbagai langkah dan upaya untuk mencegah politik identitas dan masuknya ideology transnasional dalam pesta demokrasi. Upaya tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi BNPT yakni merumuskan kebijakan, mengimplementasikannya serta mengoordinasikannya.
Baca Juga: Ekonom UI Sebut Bansos Masih Mutlak Diperlukan
"BNPT itu lembaga nonkementerian di bawah pemerintah yang bertugas merumuskan kebijakan, mengimplementasikan dan mengoordinasikan terhadap elemen bangsa dan negara, tentu termasuk kami juga diskusi, dialog atau melakukan koordinasi dengan seluruh elemen termasuk partai politik," jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih lanjut, dia menegaskan jika radikalisme dan terorisme merupakan musuh bersama seluruh umat manusia, tak hanya di tahun-tahun politik saja, baik bagi seluruh bangsa dan seluruh agama. Oleh sebab itu, upaya pemberantasan radikalisme dan terorisme menjadi tanggung jawab bersama tidak bisa dibebankan kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait saja.
"Dibutuhkan peran aktif dan produktif dari seluruh elemen masyarakat, bangsa dan negara untuk selalu mengglorifikasi, untuk menjadi influencer bagi perdamaian, menjalin toleransi, persatuan, cinta tanah air dan bangsa, menghormati dan mengamalkan ideologi Pancasila, menghayati kebhinekaan dan Indonesia," imbuh Nurwakhid.
Di satu sisi, timbulnya politik identitas di masyarakat akan menyebabkan polarisasi yang sangat tajam. Setiap orang yang memiliki identitas berbeda akan dianggap sebagai musuh yang harus dikalahkan dan bahkan dibinasakan.
"Politik identitas akan memprovokasi masyarakat dan ini menurut saya berbahaya karena akan menimbulkan kebencian. Apalagi kita mendengar 2019 terjadinya politik identitas, hampir saja kita jatuh ke kubangan konflik sebagaimana yang terjadi di Arab Spring," ungkap dia.
Baca Juga: Pernah Jadi Menaker, Cak Imin Diyakini Kuasai Materi Debat Cawapres
Apalagi, jumlah masyarakat yang punya potensi terpapar radikalisme sekitar 12ri total penduduk Indonesia atau 33 juta orang. Menurut Sofyan, angka tersebut termasuk masih besar dan mengkhawatirkan.
"Ini akan jadi bahan bakar untuk memasang idiom politik identitas. Dan ini menurut saya angka yang cukup mengkhawatirkan. Peran pemerintah untuk melakukan sosialisasi bahaya politik identitas, jangan sampai menjadi dasar politik kita," pungkasnya.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi