Penggunaan Uang Rakyat Harus Diawasi

author Seno

- Pewarta

Kamis, 22 Des 2022 09:29 WIB

Penggunaan Uang Rakyat Harus Diawasi

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: KPK Tanggapi Laporan Dosen UNJ ke Kaesang Soal Private Jet!

Optika.id - Publik di Provinsi Jawa Timur ini dikejutkan dengan berita digeledahnya ruang Gubernur Khofifah dan Wakil Gubernur Emil Dardak oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sore hari pada tanggal 21 Desember 2022. Lalu muncul dugaan-dugaan publik bahwa ada upaya menjegal Gubernur Khofifah untuk ikut maju di arena pemilihan presiden 2024. Tentu dugaan itu belum pasti kebenarannya namun viral di tengah-tengah masyarakat.

Yang pasti adalah penggeledahan itu sebagai pengembangan kasus Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Parlindungan Simanjuntak yang terkena operasi tangkap tangan OTT atau di Amerika Serikat dikenal dengan frasa Caught Red-Handed terkait penyaluran dana hibah APBD Jawa Timur bersama tiga orang lainnya.

Dari OTT tersebut, Sahat dan tiga orang lain dibawa ke Jakarta untuk diumumkan sebagai tersangka pada 15 Desember 2022 lalu. KPK menduga dari praktik suap menyuap itu, Sahat menerima uang senilai Rp 5 miliar. Karena itu publik percaya bahwa penggeledahan ruang Gubernur Jatim oleh petugas KPK adalah hasil dari Nyanyian Sahat Simanjuntak.

Kita semua tentu tidak bisa menyimpulkan sendiri peristiwa ini karena sesuai dengan azas Presumption of Innocence atau Praduga Tak Bersalah sampai pengadilan nanti yang menyimpulkan dan membuktikannya.

Sebenarnya kasus dana hibah itu adalah kasus klasik yang MO nya atau Modus Operandinya selalu sama. Kasus itu bermula dari anggaran tahun 2020 dan 2021 APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur merealisasikan dana hibah dengan total Rp7,8 triliun.

Dana tersebut akan didistribusikan penyalurannya melalui kelompok masyarakat (Pokmas) sebagai dana proyek infrastruktur hingga ke pedesaan, pengusulan dana belanja hibah ini merupakan usulan dari para anggota DPRD Jawa Timur termasuk Pak Sahat. Sebagai wakil ketua DPRD Jawa Timur, Sahat kemudian mengajukan diri membantu memuluskan pemberian dana hibah.

Saya sebut kasus klasik karena kejadian seperti itu pernah terjadi ketika Ketua DPRD Jawa Timur (2004-2009) Fathorrasyid dijatuhi hukuman penjara enam tahun oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat atau P2SEM sebesar Rp 5,8 miliar.

Fathorrasyid tidak sendiri. Lebih dari 25 orang telah menjadi terpidana ataupun tersangka kasus yang sama.

Baca Juga: Ribuan Mahasiswa dari Berbagai Universitas dan Organisasi Serbu DPRD Jatim!

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebelumnya salah satu tersangka yang meninggal dunia di penjara namanya dr Bagoes saat diperiksa penyidik menyebutkan 15 nama anggota DPRD Provinsi Jatim periode 2004-2009, diduga menyelewengkan dana hibah senilai Rp 200 miliar dari program P2SEM. Dari keterangan itu, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap 15 orang anggota DPRD Jatim yang diduga ikut menikmati aliran dana P2SEM.

Sebenarnya narasi tujuan P2SEM atau dana hibah itu adalah baik dan ideal karena bertujuan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, dan untuk menangani masalah sosial lainnya. Untuk mengakses dana ini, masyarakat harus mengajukan proposal kepada DPRD Jatim.

Setelah direkomendasi DPRD Jatim, masyarakat bisa meneruskan proposalnya ditangani Badan Pemberdayaan Masyarakat Jatim. Proyek ini disalurkan melalui LSM, yayasan, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan sebagainya.

Ternyata yang terjadi Proposal yang direkomendasi anggota DPRD ada yang fiktif atau dananya langsung dipotong 30-40 persen untuk masuk kantong pribadi.

Baca Juga: Peringatan Darurat: Mahasiswa Lakukan Aksi Demonstrasi di Depan DPRD Jatim

Dalam kondisi seperti ini bermunculan lembaga-lembaga baru yang bertugas membuatkan proposal fiktif. Lembaga ini mahir dalam membuat proposal fiktif berikut hitung-hitungan anggarannya secara detail sehingga terkesan tidak fiktif.

Memang sejak awal dprogram dana hibah ini telah memantik polemik di masyarakat. Keterlibatan DPRD sebagai pemberi rekomendasi dianggap sebagai patgulipat politik antara legislatif dan eksekutif. Bertentangan dengan fungsi DPRD. Dikhawatirkan, posisi DPRD tidak ubahnya sebagai makelar proposal.

Meskipun di sistim kepemerintahan kita sudah ada kelengkapan Lembaga pemeriksa yang mengawasi penggunaan dana pemerintah seperti Inspektorat atau BPKP atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Namun nampaknya kedua Lembaga itu perlu di tingkatkan fungsinya demi menyelamatkan uang negara yang dengan susah payah dikumpulkan oleh rakyat sebagai pembayar pajak.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU