Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup, Manakah yang Lebih Baik?

author Seno

- Pewarta

Selasa, 03 Jan 2023 10:03 WIB

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup, Manakah yang Lebih Baik?

Optika.id - Wacana Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup digaungkan oleh Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Hasyim Asy'ari. Hal ini pun memicu pro kontra di publik. Apa perbedaan sistem pemilu tersebut?

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Dikutip dari buku 'Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Pasca Amandemen UUD NRI 1945' yang ditulis oleh Jamaluddin yang dikutip Optika.id, Selasa (3/1/2023), sistem pemilu proporsional tertutup adalah penentuan calon legislatif yang terpilih bukan atas dasar suara yang diperolehnya tetapi atas dasar perolehan suara partai politik.

Meskipun rakyat memilih salah satu calon tersebut, suara itu menjadi suara partai politik. Suara partai politik yang telah mencapai ambang batas kursi, akan diberikan kepada para calon berdasarkan nomor urut.

Sementara itu, seperti dijelaskan oleh Muhammad Nizar Kherid dalam bukunya 'Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021', sistem pemilu ini memiliki sejarah yang panjang. Sistem proporsional tertutup sudah dipakai sejak era Orde Lama.

Model proporsional tertutup pada Orde Lama membuat sistem politik saat itu menjadi demokrasi terpimpin sehingga memberi porsi kekuasaan besar kepada eksekutif.

Sistem proporsional tertutup ini pun terus dipakai di era Orde Baru.

Infografis Plus Minus Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup

Proporsional Tertutup Kuatkan Oligarki

Saat Orde Baru, proporsional tertutup menguatkan sistem oligarki kepartaian sehingga model ini dianggap tidak demokratis, bahkan memunculkan hegemoni parpol besar seperti halnya Golkar. Proporsional tertutup ketika zaman itu mempersempit hubungan partisipasi dan aspirasi publik. Pemerintah Orde Baru memakai sistem ini selama enam kali Pemilu.

Bahkan saat Presiden Soeharto lengser di tahun 1998, sistem proporsional tertutup masih dipakai di tahun 1999 lewat UU No 3 Tahun 1999. Perubahan mulai terjadi saat sistem proporsional terbuka diterapkan melalui UU No 12 Tahun 2003. Sistem proporsional terbuka pun terus dipakai hingga saat ini.

Proporsional Terbuka Masih Relevan

Ketua Umum (Ketum) Perempuan Amanat Nasional (PUAN) Intan Fauzi turut berkomentar soal wacana pemilu sistem proporsional tertutup. Namun, Intan menilai pemilu dengan sistem proporsional terbuka masih relevan diterapkan pada Pemilu 2024.

"Sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu 7/2017 masih relevan untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Sistem proporsional terbuka memenuhi prinsip demokrasi yang amat mendasar yakni pengakuan kedaulatan rakyat maupun prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum)," kata Intan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/1/2023).

Anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi PAN itu mengatakan dalam sistem proporsional terbuka, semua kader punya kesempatan yang sama untuk terpilih. Menurutnya, hal itu sangat baik bagi caleg perempuan untuk ikut berkompetisi mendapatkan simpati di masyarakat.

"Berkaca pada pemilu sistem proporsional tertutup, caleg perempuan seringkali ditempatkan di nomor urut buntut, setelah petahana legislator, pengurus harian partai, dan kalangan elit partai," ucapnya.

Lebih lanjut, Intan bicara affirmative action pada UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, yang mewajibkan pengajuan daftar calon oleh partai politik pada setiap dapil harus memenuhi 30% keterwakilan perempuan dengan penempatan minimal 1 perempuan dari 3 nama calon legislatif di pemilu terbuka. Lalu, ia bertanya apakah putusan uji materiil ini nantinya akan mempengaruhi ketentuan tersebut?

"Sistem proporsional terbuka adalah solusi tepat untuk memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, tanpa mencederai hak masyarakat untuk menentukan wakil-wakilnya di parlemen," ujarnya.

Dia menilai caleg yang takut dengan pemilu sistem proporsional terbuka hanyalah pihak-pihak yang khawatir tak cukup sanggup menarik hati rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Intan optimis sistem proporsional terbuka murni, keterwakilan perempuan di parlemen 30 persen niscaya terwujud dan ia bangga karena hasil pemilu merupakan pilihan rakyat, bukan semata pilihan partai.

"Dengan sistem proporsional terbuka, semua caleg diberi panggung yang sama untuk berkompetisi. Tidak ada privilege bagi caleg. Semua bisa bertarung bebas. Dan saya akui, sistem proporsional terbuka ini membantu para kader perempuan meraih kursi di DPR," katanya.

"Semua para caleg satu partai juga berkompetisi. Jadi, para caleg benar-benar berjuang meyakinkan masyarakat menjadi calon wakil rakyat yang potensial dari setiap partai," sambungnya.

Menurut Intan, dengan sistem proporsional terbuka, pemilih lebih mengenal calon legislatifnya karena masing-masing caleg baik petahana maupun yang belum duduk di parlemen akan berkompetisi secara terbuka dan berusaha untuk berkontribusi secara baik bagi masyarakat dan terbuka.

Wacana Proporsional Tertutup Akan Hilang

Sementara itu, mayoritas partai politik (Parpol) dinilai menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup atau hanya mencoblos logo partai. Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menyebut, ada kemungkinan wacana ini akan hilang.

"Sejauh ini wacana proporsional tertutup belum dibahas di DPR, hanya sebatas perang opini publik di media sosial. Mayoritas kekuatan Senayan menolak yang bisa jadi indikasi ini bakal hangus di tengah jalan," kata Adi dalam keterangannya, Selasa (3/1/2022).

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Menurutnya, wacana kembali ke sistem proporsional tertutup pernah dibahas oleh DPR. Namun, mayoritas fraksi menolak sistem tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Dulu begitu, mayoritas fraksi menolak proporsional tertutup. Masalahnya wacana ini muncul kembali padahal tak pernah ada pembahasan di DPR sepanjang periode 2019-2024. Jika mau mengubah proporsional terbuka jadi proporsional tertutup harus ke MK," katanya.

"Tinggal diuji di MK terkabul atau tidak. Dari beberapa pengalaman MK berulangkali menolak gugatan soal ini," ucapnya.

Menurut peneliti dari UIN Syarif Hidayatullah itu, partai kaderisasi seperti PDIP dan PKS, cenderung setuju sistem proporsional tertutup.

"Ini isu lama yang seringkali ditolak parlemen setiap ada pembahasan karena mengebiri demokrasi. Sementara partai yang kaderisasinya terbuka, alias siapapun boleh jadi caleg meski bukan kader, cenderung menolak proporsional tertutup," katanya.

Menurut Adi, salah satu maksud proporsional tertutup agar partai melakukan kaderisasinya dengan baik. Namun, yang menurutnya menjadi masalah adalah penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut teratas.

"Yang menjadi masalah karena penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut teratas caleg terutama nomor urut satu dan dua, bukan berdasar suara mayoritas tanpa melihat nomor urut. Ini yang fatal," katanya.

Merasa Aneh

Adi pun merasa aneh dengan munculnya kembali wacana tersebut. Terlebih, wacana itu dilontarkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Ini memang sebatas wacana tapi bikin publik curiga ke KPU mengapa hanya wacana ini yang dihembuskan, sementara yang lain tak diwacanakan," katanya.

Dia sendiri tak sepekat dengan sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sistem itu seperti membeli kucing dalam karung.

"Secara substansi proporsional tertutup mengembalikan rezim membeli kucing dalam karung, anggota dewan terpilih bukan pilihan rakyat, tapi selera partai. Ini mirip-mirip praktik politik zaman jahiliyah, mundur jauh ke belakang, dan mengebiri demokrasi," katanya.

Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Proporsional Terbuka Lebih Baik

PKB menegaskan pemilu dengan menerapkan sistem proporsional terbuka atau mencoblos langsung nama calegnya lebih baik ketimbang tertutup. Sistem ini dinilai lebih transparan dalam rekrutmen dan penentuan bakal caleg.

"Proporsional terbuka lebih baik dari sisi partisipasi masyarakat dan transparansi dalam rekrutmen dan penentuan bakal caleg," kata Wakil Ketua Umum (Waketum) PKB Jazilul Fawaid kepada wartawan, Senin (2/1/2023).

Menurut Jazilul, rakyat menghendaki caleg atau orang-orang yang mewakili mereka di parlemen dipilih secara terbuka dan mengetahui rekam jejaknnya. Di sisi lain, kata dia, sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos gambar partai, bukan nama calegnya, sama saja dengan membeli kucing dalam karung.

"Hemat saya, saat ini rakyat ingin memilih calon wakilnya secara terbuka dan diketahui rekam jejaknya. Selain set back, sistem proporsional tertutup itu seperti 'beli kucing dalam karung'," kata Wakil Ketua MPR ini.

Selain itu, Jazilul meyakini sistem proporsional tertutup juga akan menurunkan tingkat partisipasi masyarakat di pemilu.

"Saya yakin kalau proposional tertutup akan menurunkan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu. Padahal inti pemilu itu partisipasi masyarakat dalam menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih," ujar dia.

Sedang Dibahas di MK

Diketahui, isu kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup itu sebelumnya disampaikan Ketua KPU Hasyim Asy'ari. Hasyim mengungkapkan sistem itu sedang dibahas melalui sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," ujar Hasyim dalam sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2022).

Hasyim mengatakan sistem proporsional terbuka dimulai sejak Pemilu 2009 berdasarkan putusan MK. Dia mengatakan dengan begitu, maka kemungkinan hanya keputusan MK yang dapat menutupnya kembali.

"Maka sejak itu Pemilu 2014, 2019, pembentuk norma UU tidak akan mengubah itu, karena kalau diubah tertutup kembali akan jadi sulit lagi ke MK. Dengan begitu, kira-kira polanya kalau yang membuka itu MK, ada kemungkinan yang menutup MK," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU